Senin, 23 Desember 2024 WALHI Jawa Barat merelease CATAHU (Catatan Akhir Tahun 2024) di Sekretarian WALHI Jawa Barat Jalan Shimponi Kota Bandung (pariz van java indonesia)
Ada 25 halaman terkait berbagai hal yang menjadi sorotan WALHI Jawa Barat , dalam hal ini Paguyuban Pegiat Maggot - PPM Nusantara menangkap beberapa hal terkait isu persampahan dan perubahan iklim. Untuk dokumen lengkapnya silahkan download di https://drive.google.com/.../1ijmQbLPwe5lHXNteeKuZgXPMDXj...
Berikut Catatan Akhir Tahun WALHI Jawa Barat mengenai isu #PemanasanGlobal #EmisiGRK dan #Persampahan
Pendahuluan
Janji untuk melakukan akselerasi dekarbonisasi dari Prabowo – Gibran ini bersifat sangat umum dan tidak menunjukkan pemahaman terhadap isu NZE. Karena hingga hari ini belum ada sebuah rencana yang jelas dan terukur dari Pemerintah terkait dengan skenario dekarbonisasi nasional di semua sektor. Skenario yang saat ini telah disusun dan dapat diakses publik masih terbatas pada sektor FOLU sedangkan di sektor energi sudah ada peta jalan NZE sektor energi berdasarkan pemodelan International Energy Agency (IEA) (Dirjen EBTKE, 2022), namun belum jelas adopsi
resminya ke dalam kebijakan maupun peraturan Indonesia.
Sehingga, bagaimana mungkin akselerasi bisa dilakukan ketika rencananya pun belum disiapkan secara utuh dan terintegrasi antar sektor. Hal menarik lainnya adalah terkait dengan pencemaran
bioplastik dan menekankan pada water footprint (jejak pencemaran/pemanfaatan air). Namun tidak menyebutkan langkah untuk pengurangan bioplastik dengan menerapkan extended producer responsibility (EPR). Di mana ini merupakan kebijakan yang mewajibkan setiap produsen untuk mengelola dan mengurangi dampak lingkungan dari produk mereka sepanjang siklus hidup produk, termasuk akhir dari masa pakainya.
.........
Ambisi dari Prabowo – Gibran dalam konteks perdagangan karbon sangat jelas tersurat. Namun, tidak nampak sebuah pemahaman yang kuat terkait dengan tantangan pasar karbon di Indonesia,
khususnya terkait carbon offset. Setidaknya poin krusial dalam perdagangan karbon yang tidak tersentuh adalah soal kerangka pengaman, transparansi, dan akuntabilitas dari pasar karbon.
Tanpa memperhatikan aspek tersebut, mustahil untuk mengharapkan pasar karbon akan efektif untuk menurunkan emisi.
Secara garis besar, melihat pada visi misi Prabowo – Gibran dalam konteks Net Zero. Masih terdapat banyak inkonsistensi yang terjadi dan belum menunjukan adanya janji yang koheren untuk mencapai komitmen iklim Indonesia. Selain ancaman itu, Prabowo – Gibran juga alpa menjamin pencapaian target NZE tidak menimbulkan korban baru seperti masyarakat adat dan lokal yang kehilangan wilayah kelola, tempat tinggal, atau sumber penghidupannya, jauh lebih itu target percepatan pertumbuhan ekonomi meningkat hingga 8%, pada masa Jokowi pertembuhan ekonomi di 4% saja telah banyak menimbulkan korban jiwa akibat bencana ekologis serta potensi ancaman hilangnya nyawa masyaralkat.
Dalam kontek Jawa Barat, era Gubernur Ridwal Kamil upaya perbaikan dan pemulihan lingkungan hidup tidak tercapai, hal ini dapat dilihat salah satunya dari buruknya tata kelola penguasaan lahan, tata kelola sampah, tata kelola sungai, tata kelola Cekungan Bandung serta buruknya tata kelola birokrasi. Sementara jika merujuk kepada visi-misinya Ridwan Kamil memiliki tujuan besar dengan visi Terwujudnya Jawa Barat Juara Lahir Batin dengan Inovasi dan Kolaborasi (JABAR JUARA). Setidaknya terdapat lima misi untuk menjalankan hal tersebut yang menurut kami lima
misi tersebut telah gagal dicapai oleh RK pada saat menjabat.
..........
Sementara itu saat ini Gubernur yang terpilih yaitu Dedi Mulyadi, Gubernur dan Wakil Gubernur ini memiliki visi dan misi yaitu “JABAR ISTIMEWA“ yang di turunkan menjadi empat misi, di antaranya mengembangkan kualitas sumber daya manusia yang berkarakter, cerdas, berpengetahuan, bertaqwa serta professional dalam tugasnya, mengembangkan ekonomi kerakyatan berbasis
sumber daya lokal, berdaulat, berkelanjutan berdaya saing dengan memamfaatkan ragam tekhnologi masa kini, mengurangi disparitas pembangunan utara-selatan dengan mendorong masuknya investasi dan pemerataan sarana dan prasarana serta pendidikan, Kesehatan perekonomian dan lingkungan hidup yang profesional, memperkuat tranformasi birokrasi yang berorientasi terhadap mutu pelayanan publik yang bermartabat.
Mengamati dari lima misi yang dituangkan oleh pasangan Demul ini, Walhi Jawa Barat memiliki analisis dimana proyeksi pengembangan pembangunan masih berorientasi kepada laju investasi yang tinggi, mengacu pada pengalaman Gubernur sebelumnya investasi yang di terapkan sama sekali tidak mencerminkan istilah pengembangan ekonomi yang berbasis kepada berbudaya lingkungan yang ramah. Apalagi Jawa Barat masih diletakan sebagai provinsi yang sangat baik untuk berinvestasi. Laju kerusakan lingkungan semakin nampak dan tidak dapat terhindarkan sehingga hal ini menciptakan perubahan bentang alam serta menyusutnya tutupan hutan, baik oleh Tambang, Infrastruktur, Geothermal, Industri, Property dan Wisata.
2. Kontek Jawa barat.
• Darurat Sampah “Tidak Seriusnya Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota atasi Sampah.
Tahun 2024 merupakan masa dimana pemerintah dari mulai level provinsi dan Kabupaten/kota belum juga menunjukan progress baik dalam hal penanganan sampah khususnya di kawasan Bandung Raya. Ini dibuktikan dengan fenomena keberadaan TPAS Sarimukti yang sudah tidak bisa lagi menampung (over load) buangan sampah dari kawasan ini, tercemarnya sungai di sekitar Sarimukti akibat air lindi yang tidak melalui proses IPAL. Amdal PLTSa Legok Nangka yang disampaikan Pemkot Bandung dan ditolak KLHK, dan yang terakhir adalah informasi yang beredar di media adanya kejadian penyegelan TPAS Sarimukti oleh Ditjen Gakkum KLHK yang disinyalir tidak berizin atau illegal. Namun, setelah ditelusuri kebenaran Informasi tersebut, bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan hanya sekedar memberikan peringatan kepada pihak provinsi akan ancaman TPAS Sarimukti.
Terjadinya kebakaran TPAS Sarimukti yang terjadi pada 19 Agustus 2023 lalu yang sejak saat itu Gubernur Jabar Ridwan Kamil menetapkan “Bandung Raya Darurat Sampah” seharusnya dijadikan pelajaran berharga bagi para stake holder di Kawasan Bandung Raya untuk mulai konsen dan serius menangani permasalahan sampah ini. Tapi sampai dengan saat ini pemerintah seakan-akan menemukan batu sandungan bagaimana menyelesaikan masalah ini secara tuntas.
Walaupun dijawab dengan adanya Instruksi Gubernur Jawa Barat Nomor: 02/PBLS.04/DLH Tentang Penanganan Sampah Pada Masa Darurat dan Pasca Masa Darurat Sampah atau lebih dikenal dengan Ingub Pelarangan pembuangan sampah ke TPAS Sarimukti tapi belum bisa menjadi solusi konkrit penanggulangan permasalahan sampah Bandung Raya.
Dimana, dalam kondisi darurat tersebut Gubernur memerintahkan Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat (DLH) Jabar untuk mengkoordinasikan pemangku kepentingan dalam menangani sampah pada masa status darurat sebagai dampak ditutupnya Tempat Pembuangan Kompos (TPK, harusnya "TPA" pen) Sarimukti
(sesunggunya TPA Open Dumping/Pembuangan Terbuka). Lewat surat keputusan itu yang kemudian dijabarkan dalam Instruksi Gubernur tersbut, Gubernur meminta empat kabupaten/kota yang ada di wilayah Bandung Raya yakni Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi diharuskan untuk melakukan pengolahan sampah secara mandiri, antara lain dengan:
1. melakukan langkah darurat untuk memastikan pengelolaan sampah organik di sumber;
2. tidak melakukan pengangkutan sampah baru ke TPK Sarimukti;
3. menghentikan pengumpulan sampah untuk sementara, terkecuali sampah yang dapat didaur ulang; dan
4. optimalisasi pengolahan sampah organik di luar sarana resmi pemerintah.
Atas dasar kebijakan ini membuat daerah-daerah yang sangat ketergantungan pada keberadaan TPA Sarimukti dipaksa berpikir keras agar dapat menangani kondisi yang ada, tak terkecuali Pemerintah @Kota Bandung yang produksi timbulan sampahnya, terutama timbulan Food Waste terbanyak dari daerah-daerah lainnya di Bandung Raya.
Berbagai upaya yang dilakukan Pemerintah Kota Bandung pada saat itu (Darurat Sampah) adalah sebagai berikut:
Melakukan aksi pemberian sarana dan prasarana pengolahan sampah organik antara lain :
1. Loseda (Lodong Sesa Dapur) sebanyak 770.000 unit (untuk setiap rumah tinggal) yang bersumber dari Bantuan Keuangan Provinsi Jawa Barat dan pusat atau CSR.2. Pemanfaatan lahan seluas 1 Ha di Gedebage untuk pembuangan sampah anorganik residu dan pengolahan organik dengan kapasitas 20.000 m3 setara dengan 7.000 ton sampah;3. Penguatan Satuan Tugas Pengelolaan Sampah Mandiri yang telah terbentuk di 30 Kecamatan dan ditindaklanjuti dengan pembentukan Satuan Tugas Tingkat Kelurahan; Aktivasi Kawasan Bebas Sampah (KBS) yang telah terbentuk, dengan minimal 2 RW KBS di tiap Kelurahan;4. Penerapan dan penegakan hukum pengaturan/jadwal pembuangan sampah terpilah ke TPS dengan pengawasan oleh aparat kewilayahan;5. Penanganan sampah pasar dengan penempatan mesin gibrik di Pasar Gedebage sebanyak 1 unit yang hanya berjalan sebentar. Selanjutnya mesin ini tak berjalan sampai sekarang;6. Optimalisasi Lubang Olah Organik yang telah dibuat di seluruh kecamatan dan kelurahan dengan memanfaatkan 2.125 lubang biopori yang apabila praktek ini berhasil, Kota Bandung bisa mengurangi volume sampah organik terolah sebesar 2.316 m3 dan 652 ton;7. Sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat dengan melibatkan relawan dan kader PKK untuk melakukan pemilahan dan pengolahan sampah di sumber hanya berjalan di beberapa kelurahan;8. Penerbitan Instruksi Wali Kota Bandung tentang Pengelolaan Sampah Mandiri dan Berkelanjutan, dan kemudian menetapkan ketaatan warga dalam memilah dan mengolah sampah;9. Penambahan sarana dan prasarana melalui Bantuan Keuangan (Belanja Tidak Terduga) Provinsi Jawa Barat dan Pusat antara lain untuk pembelian Loader sebanyak 3 unit, Eskavator sebanyak 2 unit, Forklift 1 unit, Mesin Gibrik lengkap 3 set dan sarana prasarana lainnya.
Reaksi dan respon Pemerintah Kota Bandung dalam menangani dan mengendalikan kondisi darurat sampah yang terjadi dengan melakukan berbagai kegiatan sebagaimana dipaparkan diatas, tidak satupun yang berhasil mengendalikan sampahnya secara maksimal dan sesuai harapan bahkan jauh dari target, terbukti kuota pembuangan ke TPA selalu berlebih.
Termasuk kegiatan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat dengan melibatkan relawan dan kader PKK untuk melakukan pemilahan dan pengolahan sampah di sumber hanya berjalan di
beberapa kelurahan saja. Selebihnya, program ini tidak berjalan dan hanya berjalan sebentar saja serta Penanganan sampah pasar dengan penempatan mesin gibrik di Pasar Gedebage sebanyak 1 unit, inipun hanya berjalan sebentar. Serta, aksi pemberian bantuan sarana dan prasarana pengolahan sampah organik antara lain Loseda (Lodong Sesa Dapur) sebanyak 770.000 unit (untuk setiap rumah tinggal) yang bersumber dari Bantuan Keuangan Provinsi Jawa Barat dan pusat atau CSR
Salah satu yang berhasil dilakukan adalah mendorong dan meminta DLH Provinsi untuk normalisasi operasional TPA Sarimukti, meliputi: pembukaan zona yang aman pasca kebakaran sebanyak 2 Zona (zona 1 dan 4), menambah jam operasional menjadi 05.00 – 18.00 WIB serta menambah kapasitas truk sejenis tronton yang bisa masuk ke area TPA Sarimukti.
Respon Walhi, Guna lebih membuktikan kenyataan diatas, Walhi Jawa Barat mencoba melakukan berbagai kegiatan yang salah satunya monitoring dan survey ke TPAS Sarimukti pada hari Sabtu, 15 Juni 2024. Hasil dari survey dan pengamatan ini sampah organic masih dibuang ke TPAS tersebut. TPA ini masih menampung buangan sampah sebanyak 300-320 ritase perhari atau 2.500 ton perhari yang didominasi sampah organic sebanyak 70 persen. Dari jumlah volume tersebut, Kota Bandung menyumbang sampah paling banyak 170 ritase perhari yang apabila dikonversi ke berat (tonase) ±1.500 ton perhari.
Hasil dari survey ini kami coba sampaikan dalam sebuah forum audensi dengan PJ Gubernur atau Pemerintah Provinsi dengan maksud untuk mendiskusikan atau mempertanyakan berbagai
kendala yang dihadapi, mendorong pihak provinsi untuk lebih tegas dalam mengimplementasikan kebijakan yang dibuat sebagai komitmen kesepakatan pemangku kebijakan di kawasan Bandung Raya, menyampaikan beberapa dampak negative bagi lingkungan yang dapat timbul akibat timublan sampah yang tidak dikelola ini serta ancaman over kapasitas TPAS Sarimukti apabila sampah dari sumber tidak dikendalikan.
Namun sayang, selain waktu yang disediakan pihak protokol sangat sempit, artinya Walhi hanya diberikan waktu selama 40 menit serta pihak provinsi tidak menangkap apa yang dipaparkan walhi, sehingga pertemuan ini tidak menghasilkan apa-apa sebagaimana tujuan dan harapan Walhi.
Pertemuan (audensi) pertama tidak mendapatkan informasi utuh, maka Walhi kembali menyampaikan surat audensi kedua dengan maksud dan tujuan yang sama seperti apa yang ditargetkan pada audensi pertama. Namun kembali disayangkan, ketika dikonfirmasi kesediaan pihak gubernur untuk menerima walhi bertemua via chat beliau tidak punya waktu untuk menerima kami.
Termasuk pihak DPRD komisi 4 yang kami minta untuk berdialog (audensi) sampai dua kali walhi mengirimkan surat permohonan audensi pun tidak ada tanggapan serius dan tidak punya waktu
untuk membahas permasalahan sampah di kawasan Bandung Raya.
Pengamatan lapangan Walhi di Pasar Induk Gede Bage, dimana pasar induk ini memiliki potensi lahan yang bisa digunakan sebagai lokasi pengelolaan sampah tapi tidak dimanfaatkan baik oleh pengelola maupun oleh pemerintah dalam hal ini PD. Pasar. Selain itu, pasar ini juga memiliki Payuguban Warga Pasar Induk Gedebage (PWPIG) yang bisa dirangkul untuk bisa membantu mengatasi atau melakukan pengelolaan sampah yang dihasilkan dari kegiatan berjualan mereka pun tidak dilibatkan secara maksimal.
Secara struktur Pasar Induk Gede Bage berada di bawah naungan PD. Pasar Kota Bandung (PEMKOT, pen), namun faktanya terdapat 2 (dua) pihak, yaitu: PD. Pasar dan PT. Ginanjar. Dalam pengelolaan
sampah beban tanggungjawab secara umum berupa penanganan dan pengurangan sampah jelas berada dibawah DLH Kota Bandung dengan khususnya PD. Pasar.
Beberapa tahun terakhir terjadi beberapa kali perubahan dalam management atau pengaturan pengelolaan sampah karena buruknya management persampahan serta administrasi terkait
dengan restribusi dalam bentuk iuran para pedagang pasar. Singkatnya DLH Kota Bandung tidak lagi mengurus pengelolaan sampah Pasar Induk Gede Bage secara langsung. Pengelolaan
diserahkan secara penuh kepada PD. Pasar Kota Bandung.Tidak berselang lama PD. Pasar Kota Bandung pun merasa keberatan mengelola sampah Pasar Induk Gede Bage karena alasan yang tidak jauh berbeda dengan DLH Kota Bandung. Selanjutnya, pengelolaan sampah diserahkan sepenuhnya kepada PT. Ginanjar, kemudian PT. Ginanjar memandatkannya kepada PWPIG untuk mengelola sampah Pasar Induk Gede Bage.
Perlu diketahui jenis sampah Pasar Induk Gede Bage 85% adalah sampah organik didominasi oleh sayur-mayur dan buah-buahan, dengan ritase pengangkutan hingga 3 rit per hari, sekitar 40m3. PWPIG sempat melakukan pengolahan sampah organiknya dengan melakukan pencacahan tanpa perlakuan lain. Bahkan banyak perusahaan pengelolaan sampah yang sempat berdatangan untuk bekerjasama namun tidak satupun berjalan.
Dualisme pengelolaan (kelembagaan) pasar menambah kesemrawutan dalam pengelolaan sampah itu sendiri. Informasi ini kami peroleh dari hasil wawancara dengan beberapa orang
anggota Paguyuban perwakilan pedagang pasar. Ketidak-sinergian lintas instansi dinas (DLH) dengan BUMD adalah pemicunya. Dimana, kedua institusi ini tidak saling bantu bahu membahu
mengatasi persoalan sampah di pasar ini.
Alih-alih menyelesaikan persoalan serta membenahi kondisi buruk yang ada, malah menyerahkan persoalan ini kepada pihak lain, tanpa arahan dan monitoring yang jelas. Sampah organik yang seharusnya diolah di sumber dengan mudah saja dibuang ke TPA Sarimukti yang jelas-jelas dilarang oleh Instruksi Gubernur.
Lain halnya TPS3R Kelurahan Rancabolang Kecamatan Gedebage Kota Bandung yang penanggung jawab pengelolaannya langsung di bawah kelurahan. Sejak adanya kebijakan pelarangan sampah organic dibuang ke TPAS Sarimukti kelompok belum pernah menerima informasi atau ada kegiatan sosialisasi secara langsung, baik yang dilakukan DLH maupun pihak lain kepada kelompok. Kalaupun ada, pihak kelompok akan merasa terbantu karena disaat yang sama kelompok kekurangan suplai SOD (sampah organik dapur / food waste). Sementara, kekurangan Sampah Organik Dapur (SOD) ini bukannya dibantu oleh pemerintah atau DLH melainkan dibantu oleh komunitas lain.
Kelompok pernah melakukan kegiatan sosialisasi pemilahan kepada warga, namun pada tahap implementasi mereka masih banyak yang bandel untuk bisa terbiasa memilah sampahnya. Kalaupun warga diharuskan memilah sampahnya, ini masih sulit dilakukan karena ketiadaan aturan sebagai landasan hukum bagi warga atau instrumen penegakan hukum bagi kelompok.
Di satu sisi, kalaupun pihak kelurahan mengeluarkan peraturan dibutuhkan instrument yang jelas dari pimpinan diatasnya (camat). Pernah dilakukan untuk menghimbau warga agar melakukan pemilahan SOD (sampah organik dapur) sebagai syarat pengurusan dokumen-dokumen pelayanan di kelurahan, namun tidak ditangapi serius oleh Camat.
Sempat ada proses pemilahan di sumber tatkala turunnya surat edaran Sekda Provinsi yang menetapkan Zero Food Waste serta Surat Edaran Penjabat Walikota “Tidak Dipilah Tidak Diangkut”. Hasilnya, warga mulai melakukan aksi pemilhan di 8 Rukun Warga, dari 12 RW yang terdapat di Kelurahan Rancabolang. Tapi mereka masih dihadapkan pada sarana pendukung yang memadai untuk mengolah sampahnya. Salah satunya 1 (satu) RW yang berada di lingkungan Perumahan Sumarecon yang dikelola secara mandiri per 14 Oktober 2024. Hingga saat ini s.o.d terpilah menumpuk yang tidak bisa dipungkiri pada akhirnya akan beujung ke TPA juga.
Satu hal yang menjadi keberatan mereka tatkala sudah melakukan pemilahan dan pengelolaan tapi retribusi masih ditarik. Maka dari itu, mereka mengusulkan agar dihitung ulang besaran retribusi secara proporsional dan adil pada kelompok, warga maupun komunitas yang sudah melakukan praktek pengurangan sampah.
Respon Pemerintah Jilid II
Dari beberapa aksi atau kegiatan walhi lakukan baik advokasi dan observasi yang kemudian disebarluaskan ke publik melalui media massa, pemerintah mulai merespon serius apalagi setelah kekhawatiran dan prediksi Walhi akan semakin kritisnya daya tampung TPAS Sarimukti yang sudah tidak bisa lagi menampung (over load) kiriman sampah Bandung Raya pun terjadi di beberapa bulan ke belakang, seperti halnya yang dilakukan pemerintah provinsi yang diwakili oleh sekda Provinsi melakukan beberapa pertemuan penting dengan beberapa stakeholder (KDH) di wilayah Bandung Raya tanggal 3 Oktober 2024 di Gedung Sate, serta Rapat Pimpinan bersama Bapak Pj. Gubernur Jabar tanggal 5 Oktober 2024 di Gedung Pakuan yang menghasilkan beberapa kesepakatan serta himbauan untuk para KDH di wilayah Bandung Raya segera melakukan upaya-upaya, sebagai berikut :
1. Melaksanakan program Zero Food Waste di semua kantor OPD Kab/Kota masing-masing, mulai efektif tanggal 7 Oktober 2024;
2. Mengkonsolidasikan dan mengarahkan para Camat dan Lurah/Kepala Desa di wilayahnya masing-masing untuk melaksanakan sosialisasi dan diseminasi program Zero Food Waste
ke tengah-tengah masyarakat mulai tanggal 7 Oktober 2024;
3. Melakukan pengurangan kiriman sampah dari wilayahnya masing-masing ke TPPAS Sarimukti sesuai komitmen bersama, yakni : Kota Bandung, dari 170 rit menjadi 140 rit; Kabupaten Bandung, dari 70 rit menjadi 40 rit; Kota Cimahi, dari 37 rit menjadi 17 rit; Kabupaten Bandung Barat, dari 20 rit menjadi 17 rit;
4. Target pengurangan pengiriman sampah dimaksud dilaksanakan dalam rentang waktu 2 bulan (sampai tanggal 30 November 2024). Dengan catatan dilaksanakan secara benar, karena proses pengurangan sampah dari rumah tangga dan lingkungan melalui program Zero Food Waste dan penggunaan teknologi tepat guna, bukan dibuang ke sungai (Citarum) atau cara lainnya yang tidak benar;
5. Melaksanakan monitoring dan evaluasi secara serius dan berkelanjutan agar pelaksanaannya berjalan sukses tanpa ekses. Apabila ada kendala dan/atau masalah, agar segera menyampaikan laporan pada kesempatan pertama.
Lain halnya dengan pemerintah Kota Bandung yang mengeluarkan kebijakan berupa Surat Edaran Penjabat Walikota “Tidak Dipilah Tidak Diangkut”. Namun, dari beberapa kebijakan yang diambil baik oleh pemerintah provinsi maupun Kabupaten/kota pun belum bisa secara signifikan membatasi volume timbulan sampah yang dibuang ke TPAS Sarimukti. Dikarenakan sifatnya hanya berupa himbauan gebrakan semata, bukan tindakan nyata secara sistematis, terpimpin, dan lain sebagainya.
Berkaca dari kondisi tersebut, walhi menilai masalah sampah bukanlah hal prioritas yang mesti segera diselesaikan. Bahkan, adanya Intruksi Gubernur inipun terkesan hanya sebatas gugur
kewajiban pemerintah provinsi akan tanggungjawab dan kewenangannya.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat tidak menunjukkan keseriusan dalam implementasi Instruksi Gubernur tersebut. Mereka cenderung membiarkan sampah organik mengalir terus ke TPA
Sarimukti tanpa penindakan dan pengawasan apapun.
Pemerintah terkesan sangat menunggu-nunggu terrealisasinya rencana penanganan sampah dengan mengandalkan PLTSa di Legok Nangka untuk mengendalikan persoalan ini secara
instan.
Paling tidak, ada beberapa alasan utama mengapa pemerintah patut melupakan rencana pembangunan PLTSa. Pertama tidak baik untuk lingkungan, dan kedua tidak baik untuk kesehatan. Selain dua hal tersebut, ada lagi satu alasan mendasar mengapa proyek ini tidak berguna, yaitu mubadzir.
Dalam konteks pencemaran lingkungan, proses pembakaran sampah akan meningkatkan produksi gas rumah kaca yang artinya turut mempercepat perubahan iklim. Menurut penghitungan Zero Waste Europe, setiap satu ton sampah yang dibakar akan menghasilkan 1,7 ton CO2. Dengan jumlah sampah harian DKI Jakarta yang mencapai 7.702 ton, jika diasumsikan semua sampah tersbut dibakar, dalam sehari PLTSa dapat menghasilkan 13.093 ton CO2 atau 4.779.091 ton CO2 pertahun.
Selain itu, dalam prakteknya, sistem pembakaran sampah seperti PLTSa akan menghasilkan dioksin, sebuah senyawa kimia beracun yang banyak dihasilkan dari pembakaran sampah plastik. Selain mencemari lingkungan secara langsung, dioksin juga mampu berpenetrasi dalam rantai makanan. Contohnya seperti yang terjadi pada telur-telur di Desa Bangun, Surabaya.
Dalam hal kesehatan, dioksin turut mengancam kelangsungan hidup manusia. Paparan racun ini dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan berbagai permasalahan kesehatan.
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), senyawa beracun ini dapat menyebabkan kanker, menyerang sistem imun, dan mempengaruhi sistem reproduksi. Sialnya, seperti sudah disinggung sebelumnya, selain bertebaran di udara, dioksin juga memiliki kemampuan masuk ke dalam rantai makanan. Dengan kata lain, risiko paparan racun ini untuk manusia dan hewan Semakin tinggi. (Bella Nathania (ICEL) dalam webinar “Potret Tata Kelola Sampah Jakarta Hari Ini” yang diselenggarakan Walhi Jakarta dan Siaran Pers KPK “Kajian Listrik Tenaga Sampah” 6 Maret 2020)
Mengacu pada undang-undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah khususnya dalam Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah Provinsi Dan Daerah Kabupaten/Kota adalah Pengembangan sistem dan pengelolaan persampahan regional. Serta UU 18 2008 tentang Pengelolaan Sampah yang didalamnya menjelaskan terkait fasilitasi kerjasama antar daerah, menyelenggarakan koordinasi, pembinaan, dan pengawasan kinerja kabupaten/kota. Dan fasilitasi penyelesaian perselisihan antar kabupaten/antar kota dalam provinsi. Lebih jauh lagi kewenangan provinsi dalam undang-undang pengelolaan sampah adalah Pengembangan sistem dan pengelolaan persampahan regional serta Penanganan sampah di TPA/TPST regional.
Artinya pemerintah provinsi berkewajiban untuk mengawal dan mengevaluasi secara seksama. Bahkan, kalau memungkinkan reward maupun punishment perlu diterapkan agar pelanggaran atau ketidak-patuhan para penanggungjawab pengelolaan sampah atas kebijakan atau kesepakatan yang telah disepakati bersama di tingkat Kabupaten Kota tidak terjadi dikemudian hari. Seperti hal Pemerintah Kota berkewajiban untuk menekan dan melakukan pengawasan kepada para pengelola kawasan komersil tersebut untuk melakukan pengurangan sampah organiknya, dengan menggunakan instrumen perizinan atau kewajiban pengelolaan sampah bagi pengelola kawasan komersil, sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 9 Tahun 2018 Tentang Pengelolaan Sampah khusus pada pasal 24, 27 dan 59.
Kawasan komersil yang notabene memiliki izin usaha dan memiliki lembaga pengelola bertanggungjawab untuk melakukan pengelolaan sampah secara mandiri (tanpa harus membebani APBD), sesuai dengan PP 81 Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga yang dapat dijadikan instrumen kontrol oleh pemerintah kota dalam hal mendorong pengurangan sampah organik.
Mengutip data food waste atau Sampah Sejenis Rumah Tangga (SSRT) DLH Provinsi Jawa barat tahun 2022 Cekungan Bandung atau Bandung Raya memproduksi sampah organik sekitar
2.327 ton perhari dan produksi sampah organik terbanyak Kota Bandung berasal dari kawasan komersil, seperti pasar, hotel, restoran, kafe, rumah sakit, mall, dll yang mencapai, 874 ton
sisanya sekitar 515 ton berasal dari rumah tangga.
Lebih penting untuk diketahui secara seksama, kalau situasi ini terus terjadi maka TPAS Sarimukti yang sudah overload sebelum masa habis kontrak pemakaiannya pada tahun 2025 dan konon ada permintaan perpanjangan kontrak penggunaan Sarimukti hingga 2028, sementara TPA Legok Nangka belum siap beroperasi. Hal ini memunculkan resiko krisis sampah yang lebih besar lagi di Metro Bandung.
Dampak lainnya yang tidak boleh disepelekan adalah gas metan dari sampah. Mengutip dari tulisan Anggita Dhiny Rarastri di artikel Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Kalimantan-KLHK berjudul: “Kontribusi Sampah Terhadap Pemanasan Global”, meningkatnya jumlah emisi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer disebabkan oleh kegiatan manusia dari berbagai sektor yang salah satunya adalah sampah.
Manusia dalam setiap kegiatannya hampir selalu menghasilkan sampah.Sampah mempunyai kontribusi besar untuk emisi gas rumah kaca yaitu gas metan (CH4) diperkirakan 1 ton sampah
padat menghasilkan 50 kg gas metana.
Emisi GRK dari seluruh TPA di Jawa Barat pada tahun 2030 diperkirakan mencapai 2,6 juta ton CO₂eq. Studi GAIA memperlihatkan bahwa pelarangan sampah organik ke TPA dari Kota Bandung saja dapat menurunkan emisi GRK sebesar 575.428 ton CO₂eq, atau sekitar 22% dari Emisi GRK total di TPA.
Berkaca dari kondisi diatas, walhi mendesak agar pemerintahan provinsi Jawa Barat dan para pemangku kebijakan di kawasan Bandung Raya menempatkan isu persampahan menjadi isu
prioritas, sehingga dampak yang ditimbulkannya bisa diminimalisir.
Desakan dan merekomendasi yang Walhi Jabar sampaikan diantaranya:
1. Pemerintahan provinsi Jawa Barat dan para pemangku kebijakan di kawasan Bandung Raya memposisikan isu sampah menjadi isu prioritas atau urusan wajib
2. Mendorong ekspansi sistem pengelolaan sampah secara terpilah di sumber, pengolahan sampah organik sedekat mungkin dengan sumber, bukan ke teknologi pembakaran (RDF dan insinerator);
3. Mendorong kebijakan peningkatan anggaran penanganan sampah di semua level;
4. Menyusun Perda Provinsi atau Peraturan GubernurTentang Pengelolaan sampah organic di sumber yang didalamnya mengatur:
(Penegakan hukum, pengawasan dan pembinaan yang berkesinambungan)
(Kerjasama antar daerah dalam hal keterbatasan fasilitas atau lahan untuk pendirian (TPS3R) )
5. Menekan perusahaan makanan berkemasan plastik supaya mengelola bungkus kemasannya;
6. Memfasilitasi kerjasama antar lembaga di lingkungan Pemerintah Provinsi (OPD) untuk mendukung proses dan hasil pengelolaan sampah di sumber;
7. Segera membuat kebijakan olah organik lintas wilayah, lebih khusus kota-kota besar yang tidak memiliki cukup lahan untuk pengolahan;
8. Memfasilitasi kerjasama antar Kabupaten/Kota atas berbagai kendala yang dihadapi masing-masing daerah;
9. Pemerintah Pusat segera melakukan sinergi lintas kementerian, lintas lembaga yang dilegalkan dalam bentuk aturan beserta anggarannya;
10. Mendorong Pemerintah pusat untuk turut andil dalam menanggulangi berbagai kekurangan, kelemahan dan keterbatasan yang dimiliki daerah;
Pemerintah Kabupaten/Kota
• Kemudahan birokrasi dan izin bagi komunitas yang ingin terlibat dalam pengelolaan sampah khususnya sampah organic;
• Pembinaan, pengawasan, reward dan punishment pada para pengelolaa kawasan komersil;
• Menyusun dan menerbitkan kebijakan PERDA pengelolaan sampah di sumber;
• Membina, membimbing, mengawasi, dan membantu penyediaan fasilitas sarana dan prasarana yang dibutuhkan komunitas (RT/RW) dalam pengelolaan sampah;
• Fasilitasi dan dukungan kepada komunitas pengelola sampah, khususnya organik yang berkeinginan kerjasama dengan pengelola kawasan komersil. Termasuk membantu pemasaran hasil penanganan sampah organik (maggot);
• Mendistribusikan s.o.d terpilah di beberapa kelurahan yang telah melakukan pemilahan s.o.d kepada para pegiat maggot baik di dalam wilayah administrasi maupun ke luar wilayah;
• Mengkaji ulang kebijakan retribusi penarikan sampah secara proporsional bagi warga atau komunitas yang sudah menerapkan pemilahan di sumber