Minggu, 13 April 2025

MINUTES OF MEETING - ZOOM MEETING KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP BERSAMA PAGUYUBAN PEGIAT MAGGOT NUSANTARA

KAMIS 10 APRIL 2025

 

PROLOG

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, merupakan sebuah kesempatan yang baik dan membahagiakan, bahwa kita masih diberi kesempatan untuk bertemu, bertukar pikiran, dan berupaya memberikan kontribusi untuk keselamatan bumi dan lingkungan kita, dengan dialog awal untuk menuju tindakan nyata untuk mengurangi masalah sampah di Indonesia yang tak kunjung berakhir. Semoga pertemuan demi pertemuan yang tercipta mampu memberikan solusi untuk permasalahan tersebut di atas.

 

PEMBUKAAN

Acara dibuka oleh pembacaan TOR oleh Alfin PPMN, dilanjutkan oleh Bp. M.Ardhi Elmeidian selaku ketua Paguyuban Pegiat Maggot Nusantara.

 

PAGUYUBAN PEGIAT MAGGOT NUSANTARA

Bp. Ardhi menyampaikan bahwa permasalahan persampahan selama ini tidak menyentuh akar persoalan, padahal semua hal teknis telah dilaksanakan, dan itu terjadi di semua wilayah, mulai dari provinsi, kotamadya hingga kabupaten. Masih ada hal non teknis yang sifatnya esensial dan mendasar, namun seakan luput dari perhatian, yaitu persoalan filosofis. Masalah sampah organik dimana yang terbesar adalah food waste yang tak pernah turun bahkan bisa lebih dari 50% dari total volume sampah yang ada, namun tidak ada peraturan atau regulasi yang kuat membahas dan mengatur sampah organik tersebut. Salah satu konsep yang pernah muncul di tahun 2019 berupa pembuatan ratusan titik starter maggot, malah tak terpelihara, padahal harusnya bisa lebih digalakkan lagi. Ini cukup mengantisipasi masalah SOD (Sampah Organik Dapur) yang ternyata paling banyak dihasilkan oleh kawasan komersial seperti pasar dan horeka. Kerjasama antar departemen juga tidak sinkron, perlu adanya sinergi yang kuat antara KLH, Kementan, KKP dan PU untuk focus pada satu tujuan yaitu pengurangan dan pengelolaan sampah organik.

Setelah penyampaian dari Pak Ardhi, dilanjutkan oleh Bp. Agus Rusly S.PI M.SI selaku Direktur Pengurangan Sampah dan Pengembangan Ekonomi Sirkular Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia.

 

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA


Menurut Pak Agus Rusly, sampah memang masih menjadi masalah sekaligus tantangan buat kita bersama. Dimananpun sampah belum terlihat beres, ketertiban dan kesadaran masyarakat sendiri juga masih sangat rendah. Paguyuban Pegiat Maggot dinilai sangat ingin membantu Pemerintah dalam pengurangan sampah, khususnya organic, yang jumlahnya 40% dari total sampah keseluruhan. Beberapa tempat yang telah dikunjungi Bp. Agus Rusly, salah satunya Piyungan di Jogja, sangat memprihatinkan kondisinya. Bapak Menteri sendiri telah mengeluarkan kebijakan penutupan 343 TPA open dumping.

Berkaitan dengan pemanfaatan maggot untuk membantu pengurangan sampah organik, budidayanya harus well organized, sehingga terukur nyata kontribusinya dalam pengurangan sampah organic tersebut. Faktor produksi apa saja di maggot yang perlu diperhatikan, missal untuk produksi 1 ton maggot, pasti akan berbeda jika quantity produksi berubah misalnya targetnya 100 ton, dimana metode dan sistem budidayanya akan berbeda. Memang sampah organic adalah masalah yang harus segera diselesaikan. KLHK sendiri sudah melakukan koordinasi intens dengan Biomagg, membahas hingga sistem kolektifnya. Perihal teknis ini dianggap sudah tidak bisa menggunakan system yang konvensional lagi. Masukan dari berbagai pihak sangat diperlukan juga untuk hal ini.

Peraturan – peraturan akan didorong agar implementasinya bisa berjalan lancar. Beberapa Permen disebutkan Bp. Agus Rusly, diantaranya Permen 10 tahun 2018, Permen 75 tahun 2019, Permen 14 tahun 2021.

KLH sebetulnya ingin mengundang Kementerian – Kementerian lain untuk turut serta dalam zoom meeting, namun dianggap perlu untuk solid dulu dengan Paguyuban Pegiat Maggot untuk membentuk konsep dasar bersama. Perlu dibuat peta jalan yang dipersiapkan oleh Paguyuban Pegiat Maggot seperti apa, targetnya seperti apa, dan hal – hal lain untuk menjadi pegangan bersama, untuk selanjutnya disampaikan juga ke Kementerian – Kementerian yang lain.

Bp. Agus Rusly berharap dengan pengendalian sampah organic oleh maggot bisa sangat mengurangi sampah organic dan juga meningkatkan Kesehatan Masyarakat, terutama khususnya yang berada di sekitar TPA. Mengenai collection system, perlu diperhitungkan biaya yang masih rasional dan layak dalam perhitungan biaya usaha.

Di akhir kata, Bp.Agus Rusly menyatakan terbuka dan tidak keberatan kalau lebih banyak lagi pihak yang mau ikut serta dalam diskusi pengurangan sampah, sebab ini kerja besar yang tidak sederhana.  

Setelah penyampaian dari Bp. Agus Rusly S.PI M.SI, dilanjutkan oleh Bp. Dr.Giyatno S.PI M.SI selaku Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Ciamis.

 

DINAS PETERNAKAN DAN PERIKANAN KABUPATEN CIAMIS



Bp. Giyatno menyampaikan bahwa sejak 2017 Beliau mendorong pertumbuhan budidaya maggot di wilayah Ciamis. Sebelumnya Bp.Giyatno juga bertugas di Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Ciamis. Latar belakang inilah yang membuatnya berhasil menyambungkan rangkaian kegiatan Dinas Lingkungan Hidup ke Dinas Peternakan dan Perikanan

Dimulai dari penggalakan budidaya maggot sebagai pengurai sampah organic, distribusi sampah organic ke para pembudidaya maggot, hingga hilirisasinya berupa pelatihan pembuatan pelet berbahan dasar maggot. Hasilnya, para pembudidaya ikan di Ciamis sudah mulai menggunakan pellet mandiri berbahan dasar maggot, dimana ternyata kandungan karbohidrat dan proteinnya tinggi sekali, dan sudah memenuhi standart SNI.

Pemakaian pellet mandiri ini juga sudah diterapkan di peternakan ayam broiler dan ayam buras Sentul, dimana hasilnya sudah bisa menyerupai pakan pellet pabrikan dan menghemat pemakaian pellet pabrikan hingga 5 karung pellet. Terbukti program peternakan ramah lingkungan dengan menggunakan maggot untuk ungags dan ikan mampu membantu perekonomian petani dengan menurunkan tingkat biaya pakan.

Ciamis bisa dianggap sebagai satu role model yang telah praktek langsung dan menerapkan hulu ke hilir maggot dengan melibatkan semua komponen terkait, baik pemerintah daerah, Masyarakat, maupun lintas sectoral lainnya.

Sesi selanjutnya dibuka untuk partisipan Zoom Meeting, yang pertama dari anggota Paguyuban Pegiat Maggot Nusantara Bernama Bp. Iwan Juansyah dari Kelapa Dua, Bogor Timur.

 

PAGUYUBAN PEGIAT MAGGOT NUSANTARA

Bp. Iwan Juansyah menyampaikan, sudah dua tahun lebih bermitra dengan CSR PT.Indosemen. Awalnya dimulai dari beternak ayam kampung, lalu mulai diberi pakan maggot, dan terbukti benar – benar bermanfaat untuk ternaknya. Ayam kampung bisa panen dalam waktu 3 bulan. Beliau juga menjadi narasumber Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kabupaten Bogor untuk pengolahan sampah organic. Untuk satu tahun ke depan juga sudah melakukan kontrak dengan BRIN Cibinong, dimana penelitiannya dilakukan di Jogja, untuk pemanfaatan cangkang lalat BSF untuk kepentingan dunia farmasi. Dari ulasan – ulasan tersebut, besar harapan untuk menggalakan program maggot, karena ke depan selain bisa mengurangi permasalahan sampah organic, khasiat dan kegunaan maggot bisa meluas bukan hanya di bidang peternakan saja, tapi juga di bidang farmasi seperti yang telah disampaikannya tadi.



Setelah itu, disambung oleh Bp. Jefry, selaku tim Advokasi Persampahan khususnya di Bandung Raya dari Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) wilayah Jawa Barat.

 

WALHI JAWA BARAT



Bp. Jefry membuka penyampaiannya dengan peristiwa TPA Sarimukti Bandung waktu itu Ketika terjadi kebakaran yang berasal dari gas metan sampah organic. Longsor di Leuwigajah juga terjadi karena timbunan sampah organic yang sudah tidak terkontrol lagi. Peraturan berupa Intruksi Gubernur tidak digubris oleh semua pihak, dimana tidak ada perubahan, sebanyak 300 s/d 320 rit per hari atau sekitar 3500 ton sampah per hari masuk ke TPA, yang mayoritas pastinya sampah organic, terbanyak adalah andil dari kota Bandung Raya sekitar 1500 ton per hari.

KSM atau pegiat masyarakat dibentuk, tapi tidak jalan, yang terakhir ada bantuan tempat pemilahan sampah organic ke rumah – rumah, tapi tidak jalan juga.

Paradigma Pemerintah bahwa sampah belum menjadi prioritas utama, dimana indikasinya adalah belum dialokasikannya biaya utama untuk penanggulangan sampah. Selain itu belum juga ada sinergi antar Lembaga pemerintah dengan lembaga lainnya, antara pemerintah dengan masyarakat, semua jalan sendiri – sendiri, belum menuju tujuan bersama.

Jadi intinya harus konsen di penanggulangan sampah organic, apalagi dengan posisi belum terpilah, menjadi makin sulit. Persyaratan administrasi yang njlimet juga membuat komunitas pengolah sampah organic jadi keder dan terkendala Ketika berurusan dengan pihak Kawasan komersial selaku penghasil sampah organic terbanyak.

Jika nanti dibentuk Permen, itu harus jelas poinnya, terutama mengenai reward and punishment, sebab selama ini tidak ada secuilpun perhatian ke komunitas yang sudah punya niat membantu dalam proses pengurangan sampah organic.

Berikutnya, Bp. Fictor Ferdinand dari YPBB (Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan) diberi kesempatan untuk urun suara.

YPBB

Bp. Fictor Ferdinand menyampaikan bahwasanya YPBB focus di topik zero waste, dimana sejak tahun 2019 sudah mendorong penanganan sampah menggunakan maggot, yang berpotensi untuk mewujudkan ketahanan pangan masyarakat. Kita salah focus selama ini ke sampah an organic, jika bicara ekonomi sirkular, EKONOMI SIRKULAR YANG PALING MUDAH DAN REAL ADALAH MENGOLAH SAMPAH ORGANIK. Proses penutupan TPA itu sangat bagus, karena semua pihak jadi seperti dipaksa untuk mengurus sampah organiknya sendiri.

Jika bicara skala besar atau nasional, pendekatannya akan berbeda, namun YPBB telah membuat model pemilahan sampah di Kawasan pemukiman di kota Bandung, berupa role model sirkular ekonomi berbasis maggot dengan sinergi antar dinas, konsep kecil tapi banyak dianggap lebih massif dan sustain kedepannya. Terbuka harapan untuk dapat mendiskusikan hal ini lebih detail di pertemuan tatap muka secara langsung dengan semua pihak terkait.


Selanjutnya Bp. Asep Setyawan dari KLH memberikan beberapa ulasan yaitu:

  1. Pertemuan zoom meeting ini merupakan entry point, diharapkan bisa terwujud action dan tindakan aktualisasi dari wacana – wacana yang ada.
  2. Dpat mengajukan surat resmi untuk audiensi berkaitan dengan masukan dan saran dari semua pihak yang terlibat dalam zoom meeting.
  3. Perlunya memaksimalkan peran maggot sampai ke tingkat grass root, juga penyamaan visi dan misi ke seluruh wilayah Nusantara.

 

Di penghujung acara, Bp. Agus Rusly memberikan beberapa pesan, yaitu:

  1. Forum diskusi dibuat bernotulen, memiliki rekam jejak yang terstruktur.
  2. Agar komperehensif perlu setting up tematik.
  3. Itu semua diperlukan sebagai panduan untuk semua pihak, termasuk untuk komunikasi ke lintas departemen Kementerian lain dan juga bisa untuk meyakinkan para stake holder kedepannya.
  4. Secara substansi semua peraturan yang ada memang belum spesifik masuk ke maggot, untuk hal ini semua pihak bisa bersurat dalam memberikan masukannya.

 

Demikian Minutes Of Meeting ini dibuat, untuk menjadi landasan dalam rencana tindak lanjut ke depan.

Terima kasih.

PAGUYUBAN PEGIAT MAGGOT NUSANTARA




zoom dihadiri perwakilan PPMN dan jaringannya di seluruh Indonesia


Jumat, 04 April 2025

Pemilahan dan Pengurangan Sampah di Sumber: Upaya Bijak Penanganan Sampah kota Bandung (silahkan dirubah-disesuaikan judulnya)

Oleh: Enri Damanhuri 

Pengamat masalah sampah


Besarnya penduduk dan keragaman aktivitas di kota, khususnya di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Medan, dan Bandung, mengakibatkan munculnya persoalan dalam pelayanan prasarana perkotaan, seperti masalah sampah. Salah satu indikatornya adalah sampah berserakan. Tidak semua sampah yang dihasilkan setiap hari dari sebuah kota mampu terkelola dengan baik. Secara kasat mata, kebersihan sebuah kota akan bisa dinilai bila kita melintas di pasar tradisional, lokasi sekitar tempat penampungan sementara (TPS), dan tempat tempat keramaian. Sebagian besar sampah yang berhasil dikumpulkan biasanya diangkut ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). 

Pemerintah kota mempunyai tanggung jawab dalam mengelola sampah kota. Namun karena beberapa alasan, dalam banyak kasus mereka belum mampu melaksanakan tugas tersebut, khususnya untuk menjamin pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan dan berkesinambungan. Dikombinasikan dengan urbanisasi yang cepat, serta pengembangan kota yang belum terencana baik, maka diperlukan program aksi yang mendesak untuk memperbaik persoalan tersebut. Pemda sampai saat ini masih berputar-putar dengan persoalan harian yang selalu menjadi keluhan dan tantangan mereka, namun tampaknya belum secara serius mempertimbangkan kemungkinan pengelolaan sampah yang berbasiskan pada reduksi dan pemanfaatan sampah di sumber. 

Kendala utama dalam pengelolaan sampah kota adalah belum adanya kebijakan publik yang mendorong berlakunya pengelolaan sampah secara baik. Selama ini sifat kebijakannya lebih banyak hanya tertuang di atas kertas atau diwacanakan melalui masmedia. Kebijakan publik mendorong munculnya strategi bagaimana mengelola sampah secara baik, diikuti dengan kebijakan anggaran yang mendukung, serta munculnya peraturan-peraturan yang sesuai. Peraturan tersebut perlu diikuti oleh adanya penegakan hukum yang terus menerus, disertai kebijakan memberikan insentif bagi mereka yang dianggap berhasil. Dengan demikian, masyarakat penghasil sampah diharapkan secara konsisten dan berkesinambungan akan bersedia melaksanakan prinsip-prinsip penanganan sampah secara baik.

Bagaimana sampah di kota Bandung dikelola selama ini? Secara garis besar, sampah yang berasal dari kelompok masyarakat yang mampu, melalui inisiatif RT-RW atau inisiatif individu, dikumpulkan oleh petugas, kemudian diangkut ke sebuah TPS. Sebagian dari TPS TPS tersebut dikelola oleh DLH kota Bandung, sebagian lagi terlihat tanpa pengelola (liar), mungkin karena yang disediakan oleh kota belum mencukupi atau mungkin karena jaraknya yang terlalu jauh untuk dijangkau oleh penghasil sampah. 

Di beberapa perumahan, DLH kota Bandung mengirimkan truk sampah ke perumahan tersebut, dan mengumpulkan sampah yang telah berada di gerobak sampah RT-RW setempat. Dalam hal ini gerobak-gerobak sampah tersebut berfungsi sebagai TPS. Bisa dipastikan bahwa lokasi dimana gerobak-gerobak tersebut parkir dan menunggu waktu pengambilan oleh truk kota (bisa seminggu sekali baru diangkut) kondisinya tidak bersih. Kemudian sampah terkumpul tersebut diangkut ke TPA di Sarimukti, yang dikelola oleh Propinsi Jawa Barat, sekitar 40 km dari kota Bandung. Sebagian dari masyarakat yang belum mendapatkan pelayanan atas inisiatip RT-RW, terpaksa membawa sampahnya ke luar rumahnya masing masing, mungkin ke TPS terdekat, atau ke tanah-tanah kosong, atau ke sungai. Tetapi mereka umumnya berusaha agar sampahnya tidak menumpuk di sekitar rumahnya. Masyarakat akan malu bila di sekitar rumahnya terlihat tidak bersih. 

Dalam hal sampah dikumpulkan oleh RT-RW, komunitas tersebut menyediakan sendiri sarana pengumpulnya, biasanya gerobak sampah, atau gerobak-motor sampah. Untuk mengumpulkan secara rutin, mereka membayar petugas sampah baik melalui iyuran bulanan, yang biasanya disatukan dengan jasa keamanan. Bila tidak melalui RT-RW, mereka bisa meminta jasa seseorang, atau jasa petugas sampah dari RT-RW tetangga untuk mengumpulkan sampahnya, dengan honor tertentu. 

Warga kota Bandung sebagian besar membayar 2 (dua) kali atas jasa pelayanan sampahnya. Pertama melalui RT-RW masing-masing. Besarnya bervariasi sesuai kesepakatan setempat, sehingga kualitas pelayanannya akan tergantung dari kemampuan bayar dan kontrol dari masing-masing komunitas. Yang kedua, warga Bandung membayar kepada Pemerintah Kota, yang ditarik melalui jasa RT-RW setempat. Sehingga dapat dikatakan bahwa urusan kebersihan di lingkungan masing-masing adalah urusan warga, terserah bagaimana cara dan inisiatipnya, termasuk dibawa ke titik-titik pengumpulan liar. Sementara kota Bandung hanya bertanggung jawab membawa sampah dari TPS ke TPA. 

Sampah yang terkumpul di TPS biasanya tidak langsung diangkut ke TPA karena menunggu diambil oleh truk pengangkut. Ketersediaan armada truk dan jarak angkut ke TPA yang cukup jauh merupakan faktor utama lambatnya pengangkutan sampah dari TPS-TPS tersebut. Titik titik lokasi TPS inilah yang sebetulnya rawan menjadi tempat akumulasi sampah, sehingga terlihat jorok, dan menimbulkan kesan bahwa masyarakat kota Bandung tidak tertib membuang sampahnya. Ditambah lagi dengan adanya TPS-TPS liar seperti disebutkan di atas. 

Seperti halnya kota-kota lain di Indonesia, kota Bandung saat ini masih mengandalkan adanya TPA, yaitu TPA Sarimukti, yang sebetulnya sudah melebihi kapasitas tampungnya. Diperlukan kemauan bersama agar jumlah sampah yang akan diangkut ke TPA dapat berkurang, khususnya melalui pengelolaan sampah yang berbasiskan pada reduksi dan daur ulang oleh penghasil sampah misalnya melalui program bank sampah, khususnya untuk sampah yang bernilai jual. Pemilahan sampah menjadi kunci keberhasilan program ini. Sampah yang tidak terkelola, apalagi bercampur dengan sampah sisa makanan dan buah buahan, menimbulkan masalah bau dan mengundang lalat serta tikus ke tumpukan sampah tersebut. 

Sampah, bila tidak ditangani secara baik, bisa menimbulkan permasalahan/gangguan, seperti estetika, bau, tempat bersarangnya vektor penyakit, khususnya bila kita menghadapi sampah yang mudah membusuk. Sementara sampah yang tidak mudah membusuk, seperti plastik bila dibuang begitu saja secara langsung berpengaruh terhadap lingkungan, khususnya berpotensi sebagai mikro-plastik yang dapat mengganggu biota air, dan menimbulkan masalah estetika dan mengganggu jalannya air seperti drainase kota. Sampah jenis ini pada kenyataannya bercampur-baur dengan sampah yang mudah membusuk seperti sisa makanan, bangkai binatang, sehingga keseluruhannya menjadi permasalahan bagi kenyamanan dan kesehatan masyarakat. 

Pemisahan sampah sisa makanan dengan jenis sampah yang lain merupakan langkah utama yang harus dilakukan oleh kota Bandung dengan dukungan masyarakatnya. Program ini harus terus disosialisasi serta diupayakan oleh pemerintah kota Bandung. Sampah jenis ini disamping berasal dari dapur dari rumah-rumah penduduk, juga berasal dari pasar-pasar tradisional, restoran dan sejenisnya, yang jumlahnya bisa mencapai lebih dari 40% dari total berat sampah yang dihasilkan. Sampah jenis ini dapat dikelola secara mandiri oleh penghasil sampah, misalnya melalui pengomposan sederhana, atau melalui pembiakan larva lalat BSF (black soldier fly) atau maggot, yang dapat digunakan sebagai makanan bagi ternak dan ikan serta penggunaan lainnya. Pegiat maggot banyak dijumpai di Bandung Raya. Yang menjadi kendala, bagaimana mempertemukannya dengan penghasil sampah organik seperti disebutkan di atas. Diperlukan intervensi aktif pemerintah kota Bandung. 

Menurut DLH kota Badnug, saat ini jumlah sampah yang dihasilkan oleh kota Bandung adalah sekitar 1.600 ton/hari, dan 82% diantaranya berhasil diangkut ke TPA. Kota Bandung menargetkan bahwa 60% sampah di tingkat RW melalui pemilahan. Kota Bandung telah memperkenalkan Program Kang Pisman (kurangi-pisahkan-manfaatkan) serta Program Kawasan Bebas Sampah. Dari informasi, yang sudah terlibat adalah sebanyak 69 RW, 13 kelurahan, 8 kelurahan. Program ini telah berhasil mengurangi jumlah sampah yang diangkut ke TPA lebih dari 30%. Bila program tersebut dapat ditingkatkan secara berkesinambungan, sampah yang akan diangkut ke TPA akan berkurang secara signifikan, sehingga akan mengurangi biaya angkut ke TPA yang kabarnya di atas Rp 200.000/ton, dan mengurangi biaya penanganan sampah di TPA Sarimukti yang besarnya Rp 50.000/ton. Biaya penghematan ini mungkin dapat dijadikan sebagai insentif bagi penghasil sampah yang berhasil mengurangi sampah terangkut ke TPA. 

Bandung 6 Juni 2022 
Enri Damanhuri 
E-mail: enri.damanhuri@gmail.com

Minggu, 23 Maret 2025

Press Release Peluncuran Kajian Menabur Benih Kerusakan: Kajian Proyek Strategis Nasional Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Indonesia

Permasalahan sampah menjadi salah satu persoalan lingkungan utama di Indonesia. Volume sampah mengalami peningkatan signifikan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2023, Indonesia menghasilkan sampah sebesar 70 juta ton. Besarnya jumlah sampah tersebut belum dibarengi dengan peningkatan sistem pengelolaan sampah. Akhirnya polusi sampah menyebabkan pencemaran lingkungan dan penumpukan di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). 

Pemerintah merespon masalah darurat sampah dengan mendorong pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di 12 Kota di Indonesia termasuk yang akan diterapkan di Jawa Barat. Proyek ini juga menjadi bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) pada program percepatan infrastruktur ketenagalistrikan. Proyek yang didorong sebagai PSN pada tahun 2015 ini terkesan dipaksakan karena menggunakan pendekatan dari atas ke bawah (top-dwon approach). 

WALHI bekerjasama dengan Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) dan Global Alliance Incinerator Alternative (GAIA) sejak awal tahun 2024 melakukan kajian pada proyek PLTSa di Indonesia. Kajian ini melihat proyek PLTSa dari beragam aspek mulai dari pendanaan, iklim, dan energi. Kajian ini melihat secara kritis proyek PLTSa mulai dari tahap perencanaan hingga implementasi. Kajian ini juga mengelaborasi peran lembaga keuangan internasional dalam mendorong proyek yang kami sebut sebagai proyek solusi palsu. Pada bagian lain, kajian ini menyajikan studi kasus berbagai proyek PLTSa di berbagai kota yang menunjukkan kegagalan dan kerusakan. Investasi pada proyek PLTSa dapat dianalogikan sebagai menabur benih kerusakan atau kehancuran. 

Paling tidak, ada dua alasan utama mengapa pemerintah patut melupakan rencana pembangunan PLTSa. Pertama tidak baik untuk lingkungan. Dan kedua tidak baik untuk kesehatan. Selain dua hal tersebut, ada lagi satu alasan mendasar mengapa proyek ini tidak berguna, yaitu mubadzir. 

Dalam konteks pencemaran lingkungan, proses pembakaran sampah akan meningkatkan produksi gas rumah kaca yang artinya turut mempercepat perubahan iklim. Menurut penghitungan Zero Waste Europe, setiap satu ton sampah yang dibakar akan menghasilkan 1,7 ton CO2. Dengan jumlah sampah harian DKI Jakarta yang mencapai 7.702 ton, jika diasumsikan semua sampah tersebut dibakar, dalam sehari PLTSa dapat menghasilkan 13.093 ton CO2 atau 4.779.091 ton CO2 pertahun.

Selain itu, dalam prakteknya, sistem pembakaran sampah seperti PLTSa akan menghasilkan dioksin, sebuah senyawa kimia beracun yang banyak dihasilkan dari pembakaran sampah plastik. Selain mencemari lingkungan secara langsung, dioksin juga mampu berpenetrasi dalam rantai makanan. 

Dalam hal kesehatan, dioksin turut mengancam kelangsungan hidup manusia. Paparan racun ini dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan berbagai permasalahan kesehatan. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), senyawa beracun ini dapat menyebabkan kanker, menyerang sistem imun, dan mempengaruhi sistem reproduksi. Sialnya, seperti sudah disinggung sebelumnya, selain bertebaran di udara, dioksin juga memiliki kemampuan masuk ke dalam rantai makanan. Dengan kata lain, risiko paparan racun ini untuk manusia dan hewan semakin tinggi. 

Tidak berhenti sampai disitu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2020 juga sempat merilis kajian terkait rencana pembangunan PLTSa. Dari hasil kajiannya, KPK menemukan bahwa proyek PLTSa tidaklah efektif dan membebani anggaran pemerintah daerah (Pemda) serta Perusahaan Listrik Negara (PLN). 

Ada dua aspek yang dinilai bermasalah oleh KPK, yakni model bisnis yang memberatkan dan basis teknologi yang belum memadai. Dalam hal model bisnis, PLTSa akan membebankan pemda dalam sejumlah tahapan seperti studi kelayakan, pengumpulan sampah, dan tipping fee atau biaya layanan pengolahan sampah (BLPS). 

Sialnya, dalam proyek PLTSa ini, kontrak yang dianut pemda dan investor adalah take or pay, yang artinya pemda harus membayar tipping fee sebanyak volume yang dijanjikan meskipun tonase sampah yang diolah tidak mencapai target pada perjanjian. Sialnya lagi, kontraknya berlaku selama 25 tahun. 

Kontrak yang sama juga berlaku untuk PLN. Perusahaan listrik negara ini harus membayar tarif sesuai dengan perjanjian meskipun listrik yang dihasilkan dari PLTSa kurang dari kapastitas yang dijanjikan. Dengan demikian, model bisnis yang digunakan PLTSa sangat berpotensi merugikan negara, berbanding terbalik dengan potensi kerugian investor yang mencapai nol persen. 

Nurul Ghifron, Wakil Ketua KPK, pada siaran pers KPK terkait kajian listrik tenaga sampah, 6 Maret 2020 mengatakan; “KPK mendukung program investasi, namun investasi yang membawa manfaat besar untuk negara dan masyarakat serta menghindari praktek yang tidak adil karena menguntungkan satu pihak saja (investor),” 

Di Jawa Barat khususnya kawasan Bandung Raya isu PLTSa bukanlah hal asing ditelinga warga kawasan Bandung dan sekitarnya. Setelah terjadinya kejadian longsor TPA Leuwigajah tahun 2005. yang kemudian membawa situasi kota bandung ditahadapkan pada situasi darurat sampah, dikarenakan sampah tidak bisa diangkut ke TPA yang terjadi longsor. Akibatnya pemandangan timbulan dan tumpukan sampah terjadi di berbagai sudut kota sehingga kawasan Kota Bandung menjadi lautan sampah atau “Bandung Lautan Sampah” sebagai julukannya. 

Dari kondisi itulah Pemerintah kota Bandung berencana membangun PLTSa sebagai solusi penangganan sampah pada waktu itu dan PT. BRILL ditunjuk sebagai investornya. Dan lahan atau lokasi yang akan digunakan pembangkit ini adalah salah satu kampung di Desa Citatah yang kemudian ditolak warga sekitar. Kemudian lokasinya berpindah ke Gedebage dan di lokasi inipun ditolak juga terutama oleh warga perumahan Cempaka Arum yang lokasinya berdekatan dengan calon lokasi penempatan PLTSa. 

Kini, rencana penanganan sampah dengan PLTSa ini menguat kembali setelah Gubernur Jawa Barat terpillih (Dedi Mulyadi) dalam narasi narasi kampanyenya pada saat menjelang pencoblosan pertengahan tahun 2024 lalu mewacanakan akan menjadikan PLTSa sebagai solusi dalam menanggulangi sampah Bandung Raya. 

Hal ini selaras dengan rencana pemerintah pusat dalam hal ini Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marves), Luhut Binsar Panjaitan pada saat berkunjung ke Sektor 9 Sungai Citarum, Batujajar, KBB, Sabtu 10 Agustus 2024 yang diberitakan oleh beberapa media online. Bahwa, beliau membeberkan rencana Proyek pembangunan Tempat Pengolahan dan Pemeprosesan Akhir Sampah (TPPAS) Legok Nangka di Nagreg Kabupaten Bandung akan dilaksanakan pada akhir Agustus 2024. Proyek pembangunan TPPAS yang diproyeksikan akan rampung pada tahun 2026 digadang-gadang mampu menampung hingga 2.131 ton perhari sampah dari wilayah Bandung Raya 

Sembari menunggu persyaratan rampung dipersiapkan, pemerintah pusat, mendorong pihak Pemerintah Kota Bandung untuk bisa menempatkan dan mengoperasionalkan 10-15 insinerator TPST yang telah dibangun Pemkot Bandung di beberapa titik dengan kapasitas pengelolaan mencapai 2000 ton perhari. 

Namun, sampai dengan saat ini tahapan pembangunan PLTSa dimaksud belum bisa dilakukan, dikarenakan masih terkendala persyaratan administrasi yang harus segera diselesaikan dan dipenuhi Pemerintah Provinsi sebagai pihak pengaju. Bahkan, proses peletakan batu pertama atau Groundbreaking yang rencananya akan dilakukan langsung Presiden Joko Widodo Agustus tahun lalu pun gagal dilakukan. 

WALHI Jawa Barat menduga, tahapan pembangunan belum bisa dilaksanakan karena pada waktu itu ada penolakan pihak KLHK, disebabkan kesalahan prosedur perizinan yang pada awalnya diperuntukan untuk TPPAS dengan metode sanitary landfill, namun di tengah jalan pemerintah mengajukan izin baru pengelolaan TPPAS dengan pendekatan teknologi (PLTSa). Karena dalam hal merubah konsep penanganan dari sanitary landfill ke PLTSa pemerintah harus merubah AMDAL dari awal atau baru. Kalau sekiranya masih menggunakan AMDAL awal justru pemerintah menyalahi prosedur perizinan dan bisa dijatuhkan sanksi hukum baik pada pemberi izin (KLHK) maupun pihak pengaju dalam hal ini pemerintah provinsi.

Selain itu, sampah Bandung Raya didominasi sampah organik atau sampah basah yang sifatnya low caloric value sebanyak 60 persen. Dengan menggunakan komposisi sampah tersebut, PLTSa membutuhkan banyak sampah yang harus dibakar untuk mencapai titik panas tertentu untuk menghasilkan energi. Lagi-lagi semakin banyak sampah yang dibakar, semakin banyak gas rumah kaca dan polutan yang dihasilkan. 

Untuk diketahui bersama, bahwa Kota Bandung memproduksi sampah paling banyak dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Bandung Raya. Sebagaimana data timbulan sampah sisa makanan yang dikeluarkan DLH Provinsi Jawa Barat tahun 2022, bahwa Cekungan Bandung atau Bandung Raya memproduksi sampah organik sekitar 2.327 ton per hari. Sementara Kota Bandung mencapai 60 persen atau sekitar 1.389 ton perhari. Jumlah timbulan ini berasal dari Kawasan Komersial, seperti pasar, hotel, restoran, kafe, rumah sakit, mall, dll yang mencapai, 874 ton sisanya sekitar 515 ton berasal dari sampah dari rumah tangga. 

Sementara itu, data SIPSN tahun 2023 Kota Bandung adalah penghasil sampah terbanyak di wilayah Bandung Raya yang melingkupi 5 kota/kabupaten. Timbulan sampah Kota Bandung per 2023 adalah 1.766 ton/hari, meningkat 10,8% dari tahun 2022. Hal ini mengindikasikan adanya perubahan demografis yang signifikan di lingkungan Kota Bandung seperti jumlah penduduk dan tingkat sosio ekonomi sehingga timbulan sampah melonjak. Secara komposisi, Kota Bandung serupa dengan mayoritas wilayah di Indonesia dengan sisa makanan menjadi komponen terbesar di angka 44,5%. Plastik dan kertas menjadi komponen terbesar setelahnya di angka 16,7% dan 13,1%. Berdasarkan uraian 3 besar ini, tanpa harus mengandalkan PLTSa, lebih dari 60% sampah di Kota Bandung dapat dikelola melalui sistem pengomposan dan daur ulang sesuai kategorinya 

Dengan pelbagai pertimbangan di atas, melanjutkan proyek PLTSa bukanlah langkah bijak yang bisa ditempuh pemerintah dalam mengentaskan persoalan sampah dan energi bersih terbarukan. Daripada memaksakan teknologi yang belum rampung tersebut, pemerintah lebih baik fokus pada upaya pengaturan sampah dari sumbernya, yaitu masyarakat dan industri plastik. 

Fokus pada masyarakat berarti memberi pendampingan, edukasi, dan monitoring pengolahan sampah pada masyarakat. Sementara di bidang industri, pemerintah perlu mengatur produksi plastik dalam bentuk regulasi. Meskipun sudah ada peraturan gubernur yang mengatur penggunaan kantong belanja ramah lingkungan, akan percuma jika produksi plastik tidak di kontrol. Selain itu, klaim ramah lingkungan yang digaungkan PLTSa tidaklah tepat. Konsep ramah lingkungan harus diterapkan dalam segala aspek, mulai pengumpulan bahan produksi sampai penggunaan oleh konsumen. Dengan kata lain, energi ramah lingkungan tidaklah sesederhana mengubah sampah menjadi listrik. Alih-alih ramah lingkungan, PLTSa hanya mengkonversi masalah, dalam hal ini mengatasi permasalahan sampah dengan menghadirkan pencemaran udara¹.

file bisa download di.....https://drive.google.com/file/d/1FbbsklXNQ1pmnSz52O5bhVSjy2aKHqPF/view?usp=sharing


Selasa, 04 Maret 2025

NOTULENSI RAPAT POINT OF MEETING PPM - KLH/BPLH

Rabu, 26 Februari 2025

Pembukaan

Rapat dibuka oleh Bapak Hafis dengan perkenalan para anggota PPM yang hadir.
Bapak Asep, dan Direktur, Bapak Agus, belum hadir karena ada agenda lain dan direncanakan menyusul.

Pembahasan

  1. Presentasi Sustainable Living oleh Bang Ardhi (PPM)
    • Menyoroti perlunya perubahan strategi pembangunan dari industrialisasi menuju penyelamatan lingkungan yang tersistem dan berjejaring.


  1. Regulasi dan Permen Baru
    • PPM menekankan perlunya peraturan menteri (Permen) baru yang berfokus pada pengolahan sampah organik.
    • Maggot menjadi salah satu sub-item dalam Permen baru tersebut.
    • Standarisasi dan hilirisasi maggot harus dimasukkan dalam regulasi.
    • Sistem kompensasi untuk pegiat maggot dalam pengolahan sampah organik perlu disusun.
  2. Konsep Single Stream Waste Management with Farm
    • Konsep ini kembali diunggulkan sebagai solusi ideal untuk pengelolaan sampah organik berbasis Black Soldier Fly (BSF).
    • Data terbaru dari KLH/BPLH melalui sipsn.memlhk.go.id menunjukkan bahwa pengelolaan sampah baru mencapai 60% dari total sampah yang ada.


  1. Fokus Kementerian LH/BPLH
    • Saat ini Kementerian LHK sedang fokus pada wilayah Jakarta Utara sebagai percontohan atau role model.
    • Horeka (Hotel, Restoran, dan Kafe) diharapkan menciptakan solusi mandiri dan menyusun jurnal harian terkait persentase sampah organik dan non-organik serta alokasinya.
  2. Kehadiran Pak Asep dan Direktur
    • Setelah hadir, mereka memberikan kejelasan terhadap langkah-langkah selanjutnya.
  3. Pengembangan Program Astapasar dengan Maggot
    • Program ini diharapkan bisa diperluas ke semua wilayah untuk mempercepat pengurangan sampah.
    • Subang dinilai sebagai kota percontohan yang cukup berhasil dalam implementasi program ini.


  1. Panduan Budidaya Maggot
    • KLH pernah menerbitkan buku panduan budidaya maggot.
    • Saat ini, panduan tersebut perlu diperbarui menjadi buku saku yang lebih praktis.
  2. MOU Perusahaan Penghasil Limbah
    • Perusahaan yang menghasilkan limbah organik dan anorganik diwajibkan membuat MOU dengan pihak ketiga pengelola sampah.
    • KLH akan mulai melakukan audit terhadap perusahaan terkait.
  3. Kolaborasi KLH dengan Pegiat Maggot
    • Perusahaan maggot skala industri telah dilibatkan dalam program DLH.
    • Direktur menegaskan pentingnya keterlibatan Paguyuban Pegiat Maggot Nusantara sebagai representasi masyarakat dalam pengurangan sampah organik.
  4. Tindak Lanjut oleh PPM
    • PPM nasional dan khususnya PPM Jakarta dan sekitarnya diminta untuk menindaklanjuti tantangan dari KLH/BPLH
    • Langkah tindak lanjut meliputi:
      • Update jumlah pembudidaya maggot.
      • Kapasitas produksi yang dihasilkan.
      • Skema kerja yang efektif dan efisien bagi semua pihak.
      • PPM akan menyusun rencana aksi dan berkoordinasi secara intensif dengan KLH/BPLH.

Penutupan

Rapat ditutup dengan kesepakatan bahwa semua poin yang dibahas akan segera ditindaklanjuti oleh PPM dan KLH/BPLH

 

Notulen: Rudi Dharma






Jumat, 28 Februari 2025

NOTULENSI RAPAT AUDIENSIPaguyuban Pegiat Maggot Nusantara dengan Direktorat Perikanan Air TawarDirektorat Jenderal Budidaya Ikan, Kementerian Kelautan dan PerikananSenin, 24 Februari 2025Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan

 


I. Pembukaan

Rapat dibuka dengan pemaparan dari pihak Direktorat Perikanan Air Tawar mengenai eksplorasi maggot dalam rangka program pakan mandiri bagi para peternak ikan.

II. Pokok Pembahasan


Sejarah dan Peran Direktorat Pakan

Eksplorasi maggot telah dilakukan sejak tahun 2018, dimulai di Jambi.

Inisiatif ini bertujuan untuk memastikan ketersediaan bahan baku pakan melalui peternakan maggot.

Direktorat Pakan sebelumnya menangani sertifikasi produsen pakan (industri dan mandiri) serta registrasi produk.

Direktorat Pakan kini berganti nama menjadi Direktorat Perikanan Air Tawar.

Produksi dan Hilirisasi Maggot

Pembudidaya maggot binaan KKP di Parung telah memproduksi tepung maggot untuk pakan larva udang dengan harga lebih murah dibandingkan produk sejenis.

Hilirisasi maggot untuk industri pakan telah dilakukan, namun masih menghadapi kendala seperti:

Kontinuitas produksi dan kuantitas yang belum stabil.

Konsistensi pengadaan bahan baku.

Maggot belum sepenuhnya bisa menggantikan tepung ikan karena harga tepung maggot per kg masih lebih mahal.

Keamanan dan Regulasi Maggot sebagai Bahan Pakan

Penggunaan maggot segar (fresh maggot) masih memerlukan kepastian regulasi terkait dengan CBIB (Cara Budidaya Ikan yang Baik).



Penelitian dari Universitas Andalas menunjukkan bahwa maggot aman dikonsumsi oleh hewan ternak atau ikan dan tidak mengandung zat berbahaya.

KKP hanya menerima maggot dalam bentuk tepung atau kering untuk faktor penyimpanan dan daya tahan produk.

Bantuan dan Pendampingan dari KKP

Tidak ada bantuan logistik atau pendanaan terkait budidaya maggot di era efisiensi anggaran saat ini.

Pendampingan untuk pakan mandiri atau CPPIB (Cara Pembuatan Pakan Ikan yang Baik) dapat difasilitasi oleh KKP melalui BPSDM di tingkat provinsi atau kabupaten.

Impor dan Produksi Maggot

Kuota impor tepung ikan per tahun berdasarkan data KKP adalah 100.000 ton.

Jika produksi maggot sudah siap secara massal dan kontinu, KKP akan berperan sebagai fasilitator antara pembudidaya maggot dan stakeholder yang membutuhkan bahan baku pakan dengan kuantitas dan kualitas yang sesuai.

III. Kesimpulan dan Tindak Lanjut



Hilirisasi maggot masih memerlukan dukungan dari departemen terkait agar produksinya lebih konsisten.

KKP terbuka untuk menjadi fasilitator dalam menghubungkan stakeholder dengan pembudidaya maggot yang telah memenuhi standar produksi.

Perlu pengkajian lebih lanjut terkait regulasi penggunaan fresh maggot dalam industri pakan.

Pembinaan dan pendampingan oleh KKP akan difokuskan pada aspek teknis pembuatan pakan yang baik melalui BPSDM.

IV. Penutup



Rapat ditutup dengan harapan adanya sinergi lebih lanjut antara pemerintah dan pegiat maggot dalam pengembangan pakan alternatif bagi sektor perikanan di Indonesia.

Notulen: Rudi Dharma



Rabu, 29 Januari 2025

Upaya PPMN 2025

Upaya Paguyuban Pegiat Maggot - PPM Nusantara untuk berkoodinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan / @Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup 
Kami memang tidak bertemu langsung dengan Direktorat Pengelolaan Sampah - KLHK Direktur Pengurangan Bapak Agus Rusli, namun beliau berkunjung ke @bank sampah LGKaum di Jatinegara Kaum 
Berikut yang Kami sampaikan :

Sampah terdiri dari 2 jenis besar :
1. Sampah yg mudah terurai , terdiri dari 2 : 1. Terurai dengan cepat dan 2. Perlu waktu cukup untuk terurai
2. Sampah yg tidak mudah terurai.

Ppm bagian dari poin 1.1

Persoalan yang PPM hadapi menyerap informasi dari teman2 dari barat sampai ke timur Indonesia, sbb :
1. Suplai s.o.d
2. Hilirisasi maggot bsf
3. Pengembangan hingga terwujud sirkular ekonomi

Untuk mengisi kekurangan2 tsb di atas diperlukan :
1. Kebijakan dan petunjuk teknis pemilahan di sumber serta distribusi s.o.d berupa permen dan/atau regulasi lainnya
2. Standarisasi atau setidaknya acuan umum untuk metode bsf sehingga memudahkan dalam implementasi
3. Hilirisasi berupa hubungan dengan institusi terkait, seperti : Kementan dan KKP, termasuk di dalamnya peternakan, perikanan dan pertanian.
4. Dalam hilirisasi bsf bisa juga dengan memberikan kewajiban bagi gedung2 dan perkantoran yg memiliki bukaan hijau untuk bisa menyerap hasil dari s.o.d yg diolah baik oleh gedung tsb maupun pihak lain.
5. Kebijakan berupa aturan kepada para penghasil sampah dan pengelola sampah (termasuk pemerintah) untuk membayar biaya pengolahan kepada para pegiat maggot, sebagai kompensasi sekaligus insentif karena telah mengolah s.o.d dan mengurangi timbunan di TPA.

Penegakan hukum

Kami mendukung penuh penegakkan hukum oleh menteri lh / kepala bplh, namun ada beberapa catatan :
Pusat dalam hal ini klh/bplh seharusnya melakukan beberapa hal sbb :
1. Mengkomunikasikan baik pra surat teguran ataupun paska surat teguran berupa arahan2 dan upaya2 sehingga terhindar dari sangsi
2. Memberikan bantuan fisik dan non fisik jika dibutuhkan kepada para pengelola sampah , jika dinilai membutuhkannya. Atau membatasi pengelolaan sampah nya dan melakukan perbaikan2.
3. Memberikan penghargaan jika dinilai pengelolaan sampah nya telah memenuhi kriteria2 yg berperan dalam pengurangan signifikan dampak2 negatif dari pengelolaan sampah.

Permen lhk p.75 / 2019

Permen tersebut hanya mencakup kemasan dari produk , PPM pernah mempunyai pengalaman uji coba olah product expired berkerja sama dengan produsen selama 3 bulan. 

Beberapa masalah yg muncul :
1. Isi dari produk expired tsb tanggung jawab siapa? Jika dikelola oleh PPM apa kompensasi dan legal standingnya?
2. Kemasan tidak ditarik lagi oleh produsen, karena dianggap mudah dijual.
3. Selama 3 bulan, ratusan armada dengan isi beragam tidak kurang dari 300ton.
4. Poin ini kami sampaikan beberapa kali ke direktorat pengurangan, ini yg ke 3.
4. Kontrol klh dibutuhkan karena produsen tidak mau kontrak secara formal.

Makan Bergizi Gratis

Merespon positif akan himbauan Pak Menteri agar Satuan Pemenuhan Pelayanan Gizi (SPPG) untuk mengolah limbah2 sisa makanan atau yang biasa kami sebut s.o.d (sampah organik dapur).

Menurut kami aturan yg lebih mengikat seharusnya dibuat dalam bentuk permen pengolahan sampah organik, dimana maggot bsf terdapat di dalamnya. Sehingga aturan ini mengikat siapa saja yg memproduksi sampah organik terlebih s.o.d. Sebagaimana telah kami sebutkan di atas. 

Secara teknis para penghasil s.o.d (termasuk industri pariwisata dan makanan) wajibkan untuk mengolahnya di sumber, jika tidak mampu pilih pihak ke 3 yg bisa menjamin s.o.d terolah dengan baik. Lakukan monitoring berkala , bisa memanfaatkan jejaring PPM Nusantara yg tersebar luas di 29 provinsi. Demikian hal nya dengan evaluasi. Kami siap membantu pemerintah pusat dalam merealisasikan #SampahOrganikBukanUntukTPA

Rabu, 25 Desember 2024

JAWA BARAT DALAM BAYANG INVESTASI MEMANEN BENCANA BUKAN SEJAHTERA

Senin, 23 Desember 2024 WALHI Jawa Barat merelease CATAHU (Catatan Akhir Tahun 2024) di Sekretarian WALHI Jawa Barat Jalan Shimponi Kota Bandung (pariz van java indonesia)
Ada 25 halaman terkait berbagai hal yang menjadi sorotan WALHI Jawa Barat , dalam hal ini Paguyuban Pegiat Maggot - PPM Nusantara menangkap beberapa hal terkait isu persampahan dan perubahan iklim. Untuk dokumen lengkapnya silahkan download di https://drive.google.com/.../1ijmQbLPwe5lHXNteeKuZgXPMDXj...
Berikut Catatan Akhir Tahun WALHI Jawa Barat mengenai isu #PemanasanGlobal #EmisiGRK dan #Persampahan


Pendahuluan
Janji untuk melakukan akselerasi dekarbonisasi dari Prabowo – Gibran ini bersifat sangat umum dan tidak menunjukkan pemahaman terhadap isu NZE. Karena hingga hari ini belum ada sebuah rencana yang jelas dan terukur dari Pemerintah terkait dengan skenario dekarbonisasi nasional di semua sektor. Skenario yang saat ini telah disusun dan dapat diakses publik masih terbatas pada sektor FOLU sedangkan di sektor energi sudah ada peta jalan NZE sektor energi berdasarkan pemodelan International Energy Agency (IEA) (Dirjen EBTKE, 2022), namun belum jelas adopsi
resminya ke dalam kebijakan maupun peraturan Indonesia.
Sehingga, bagaimana mungkin akselerasi bisa dilakukan ketika rencananya pun belum disiapkan secara utuh dan terintegrasi antar sektor. Hal menarik lainnya adalah terkait dengan pencemaran
bioplastik dan menekankan pada water footprint (jejak pencemaran/pemanfaatan air). Namun tidak menyebutkan langkah untuk pengurangan bioplastik dengan menerapkan extended producer responsibility (EPR). Di mana ini merupakan kebijakan yang mewajibkan setiap produsen untuk mengelola dan mengurangi dampak lingkungan dari produk mereka sepanjang siklus hidup produk, termasuk akhir dari masa pakainya.
.........
Ambisi dari Prabowo – Gibran dalam konteks perdagangan karbon sangat jelas tersurat. Namun, tidak nampak sebuah pemahaman yang kuat terkait dengan tantangan pasar karbon di Indonesia,
khususnya terkait carbon offset. Setidaknya poin krusial dalam perdagangan karbon yang tidak tersentuh adalah soal kerangka pengaman, transparansi, dan akuntabilitas dari pasar karbon.
Tanpa memperhatikan aspek tersebut, mustahil untuk mengharapkan pasar karbon akan efektif untuk menurunkan emisi.
Secara garis besar, melihat pada visi misi Prabowo – Gibran dalam konteks Net Zero. Masih terdapat banyak inkonsistensi yang terjadi dan belum menunjukan adanya janji yang koheren untuk mencapai komitmen iklim Indonesia. Selain ancaman itu, Prabowo – Gibran juga alpa menjamin pencapaian target NZE tidak menimbulkan korban baru seperti masyarakat adat dan lokal yang kehilangan wilayah kelola, tempat tinggal, atau sumber penghidupannya, jauh lebih itu target percepatan pertumbuhan ekonomi meningkat hingga 8%, pada masa Jokowi pertembuhan ekonomi di 4% saja telah banyak menimbulkan korban jiwa akibat bencana ekologis serta potensi ancaman hilangnya nyawa masyaralkat.
Dalam kontek Jawa Barat, era Gubernur Ridwal Kamil upaya perbaikan dan pemulihan lingkungan hidup tidak tercapai, hal ini dapat dilihat salah satunya dari buruknya tata kelola penguasaan lahan, tata kelola sampah, tata kelola sungai, tata kelola Cekungan Bandung serta buruknya tata kelola birokrasi. Sementara jika merujuk kepada visi-misinya Ridwan Kamil memiliki tujuan besar dengan visi Terwujudnya Jawa Barat Juara Lahir Batin dengan Inovasi dan Kolaborasi (JABAR JUARA). Setidaknya terdapat lima misi untuk menjalankan hal tersebut yang menurut kami lima
misi tersebut telah gagal dicapai oleh RK pada saat menjabat.
..........
Sementara itu saat ini Gubernur yang terpilih yaitu Dedi Mulyadi, Gubernur dan Wakil Gubernur ini memiliki visi dan misi yaitu “JABAR ISTIMEWA“ yang di turunkan menjadi empat misi, di antaranya mengembangkan kualitas sumber daya manusia yang berkarakter, cerdas, berpengetahuan, bertaqwa serta professional dalam tugasnya, mengembangkan ekonomi kerakyatan berbasis
sumber daya lokal, berdaulat, berkelanjutan berdaya saing dengan memamfaatkan ragam tekhnologi masa kini, mengurangi disparitas pembangunan utara-selatan dengan mendorong masuknya investasi dan pemerataan sarana dan prasarana serta pendidikan, Kesehatan perekonomian dan lingkungan hidup yang profesional, memperkuat tranformasi birokrasi yang berorientasi terhadap mutu pelayanan publik yang bermartabat.
Mengamati dari lima misi yang dituangkan oleh pasangan Demul ini, Walhi Jawa Barat memiliki analisis dimana proyeksi pengembangan pembangunan masih berorientasi kepada laju investasi yang tinggi, mengacu pada pengalaman Gubernur sebelumnya investasi yang di terapkan sama sekali tidak mencerminkan istilah pengembangan ekonomi yang berbasis kepada berbudaya lingkungan yang ramah. Apalagi Jawa Barat masih diletakan sebagai provinsi yang sangat baik untuk berinvestasi. Laju kerusakan lingkungan semakin nampak dan tidak dapat terhindarkan sehingga hal ini menciptakan perubahan bentang alam serta menyusutnya tutupan hutan, baik oleh Tambang, Infrastruktur, Geothermal, Industri, Property dan Wisata.


2. Kontek Jawa barat.
• Darurat Sampah “Tidak Seriusnya Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota atasi Sampah.
Tahun 2024 merupakan masa dimana pemerintah dari mulai level provinsi dan Kabupaten/kota belum juga menunjukan progress baik dalam hal penanganan sampah khususnya di kawasan Bandung Raya. Ini dibuktikan dengan fenomena keberadaan TPAS Sarimukti yang sudah tidak bisa lagi menampung (over load) buangan sampah dari kawasan ini, tercemarnya sungai di sekitar Sarimukti akibat air lindi yang tidak melalui proses IPAL. Amdal PLTSa Legok Nangka yang disampaikan Pemkot Bandung dan ditolak KLHK, dan yang terakhir adalah informasi yang beredar di media adanya kejadian penyegelan TPAS Sarimukti oleh Ditjen Gakkum KLHK yang disinyalir tidak berizin atau illegal. Namun, setelah ditelusuri kebenaran Informasi tersebut, bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan hanya sekedar memberikan peringatan kepada pihak provinsi akan ancaman TPAS Sarimukti.
Terjadinya kebakaran TPAS Sarimukti yang terjadi pada 19 Agustus 2023 lalu yang sejak saat itu Gubernur Jabar Ridwan Kamil menetapkan “Bandung Raya Darurat Sampah” seharusnya dijadikan pelajaran berharga bagi para stake holder di Kawasan Bandung Raya untuk mulai konsen dan serius menangani permasalahan sampah ini. Tapi sampai dengan saat ini pemerintah seakan-akan menemukan batu sandungan bagaimana menyelesaikan masalah ini secara tuntas.
Walaupun dijawab dengan adanya Instruksi Gubernur Jawa Barat Nomor: 02/PBLS.04/DLH Tentang Penanganan Sampah Pada Masa Darurat dan Pasca Masa Darurat Sampah atau lebih dikenal dengan Ingub Pelarangan pembuangan sampah ke TPAS Sarimukti tapi belum bisa menjadi solusi konkrit penanggulangan permasalahan sampah Bandung Raya.
Dimana, dalam kondisi darurat tersebut Gubernur memerintahkan Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat (DLH) Jabar untuk mengkoordinasikan pemangku kepentingan dalam menangani sampah pada masa status darurat sebagai dampak ditutupnya Tempat Pembuangan Kompos (TPK, harusnya "TPA" pen) Sarimukti
(sesunggunya TPA Open Dumping/Pembuangan Terbuka). Lewat surat keputusan itu yang kemudian dijabarkan dalam Instruksi Gubernur tersbut, Gubernur meminta empat kabupaten/kota yang ada di wilayah Bandung Raya yakni Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi diharuskan untuk melakukan pengolahan sampah secara mandiri, antara lain dengan:
1. melakukan langkah darurat untuk memastikan pengelolaan sampah organik di sumber;
2. tidak melakukan pengangkutan sampah baru ke TPK Sarimukti;
3. menghentikan pengumpulan sampah untuk sementara, terkecuali sampah yang dapat didaur ulang; dan
4. optimalisasi pengolahan sampah organik di luar sarana resmi pemerintah.
Atas dasar kebijakan ini membuat daerah-daerah yang sangat ketergantungan pada keberadaan TPA Sarimukti dipaksa berpikir keras agar dapat menangani kondisi yang ada, tak terkecuali Pemerintah @Kota Bandung yang produksi timbulan sampahnya, terutama timbulan Food Waste terbanyak dari daerah-daerah lainnya di Bandung Raya.


Berbagai upaya yang dilakukan Pemerintah Kota Bandung pada saat itu (Darurat Sampah) adalah sebagai berikut:
Melakukan aksi pemberian sarana dan prasarana pengolahan sampah organik antara lain :
1. Loseda (Lodong Sesa Dapur) sebanyak 770.000 unit (untuk setiap rumah tinggal) yang bersumber dari Bantuan Keuangan Provinsi Jawa Barat dan pusat atau CSR.
2. Pemanfaatan lahan seluas 1 Ha di Gedebage untuk pembuangan sampah anorganik residu dan pengolahan organik dengan kapasitas 20.000 m3 setara dengan 7.000 ton sampah;
3. Penguatan Satuan Tugas Pengelolaan Sampah Mandiri yang telah terbentuk di 30 Kecamatan dan ditindaklanjuti dengan pembentukan Satuan Tugas Tingkat Kelurahan; Aktivasi Kawasan Bebas Sampah (KBS) yang telah terbentuk, dengan minimal 2 RW KBS di tiap Kelurahan;
4. Penerapan dan penegakan hukum pengaturan/jadwal pembuangan sampah terpilah ke TPS dengan pengawasan oleh aparat kewilayahan;
5. Penanganan sampah pasar dengan penempatan mesin gibrik di Pasar Gedebage sebanyak 1 unit yang hanya berjalan sebentar. Selanjutnya mesin ini tak berjalan sampai sekarang;
6. Optimalisasi Lubang Olah Organik yang telah dibuat di seluruh kecamatan dan kelurahan dengan memanfaatkan 2.125 lubang biopori yang apabila praktek ini berhasil, Kota Bandung bisa mengurangi volume sampah organik terolah sebesar 2.316 m3 dan 652 ton;
7. Sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat dengan melibatkan relawan dan kader PKK untuk melakukan pemilahan dan pengolahan sampah di sumber hanya berjalan di beberapa kelurahan;
8. Penerbitan Instruksi Wali Kota Bandung tentang Pengelolaan Sampah Mandiri dan Berkelanjutan, dan kemudian menetapkan ketaatan warga dalam memilah dan mengolah sampah;
9. Penambahan sarana dan prasarana melalui Bantuan Keuangan (Belanja Tidak Terduga) Provinsi Jawa Barat dan Pusat antara lain untuk pembelian Loader sebanyak 3 unit, Eskavator sebanyak 2 unit, Forklift 1 unit, Mesin Gibrik lengkap 3 set dan sarana prasarana lainnya.
Reaksi dan respon Pemerintah Kota Bandung dalam menangani dan mengendalikan kondisi darurat sampah yang terjadi dengan melakukan berbagai kegiatan sebagaimana dipaparkan diatas, tidak satupun yang berhasil mengendalikan sampahnya secara maksimal dan sesuai harapan bahkan jauh dari target, terbukti kuota pembuangan ke TPA selalu berlebih.
Termasuk kegiatan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat dengan melibatkan relawan dan kader PKK untuk melakukan pemilahan dan pengolahan sampah di sumber hanya berjalan di
beberapa kelurahan saja. Selebihnya, program ini tidak berjalan dan hanya berjalan sebentar saja serta Penanganan sampah pasar dengan penempatan mesin gibrik di Pasar Gedebage sebanyak 1 unit, inipun hanya berjalan sebentar. Serta, aksi pemberian bantuan sarana dan prasarana pengolahan sampah organik antara lain Loseda (Lodong Sesa Dapur) sebanyak 770.000 unit (untuk setiap rumah tinggal) yang bersumber dari Bantuan Keuangan Provinsi Jawa Barat dan pusat atau CSR
Salah satu yang berhasil dilakukan adalah mendorong dan meminta DLH Provinsi untuk normalisasi operasional TPA Sarimukti, meliputi: pembukaan zona yang aman pasca kebakaran sebanyak 2 Zona (zona 1 dan 4), menambah jam operasional menjadi 05.00 – 18.00 WIB serta menambah kapasitas truk sejenis tronton yang bisa masuk ke area TPA Sarimukti.
Respon Walhi, Guna lebih membuktikan kenyataan diatas, Walhi Jawa Barat mencoba melakukan berbagai kegiatan yang salah satunya monitoring dan survey ke TPAS Sarimukti pada hari Sabtu, 15 Juni 2024. Hasil dari survey dan pengamatan ini sampah organic masih dibuang ke TPAS tersebut. TPA ini masih menampung buangan sampah sebanyak 300-320 ritase perhari atau 2.500 ton perhari yang didominasi sampah organic sebanyak 70 persen. Dari jumlah volume tersebut, Kota Bandung menyumbang sampah paling banyak 170 ritase perhari yang apabila dikonversi ke berat (tonase) ±1.500 ton perhari.
Hasil dari survey ini kami coba sampaikan dalam sebuah forum audensi dengan PJ Gubernur atau Pemerintah Provinsi dengan maksud untuk mendiskusikan atau mempertanyakan berbagai
kendala yang dihadapi, mendorong pihak provinsi untuk lebih tegas dalam mengimplementasikan kebijakan yang dibuat sebagai komitmen kesepakatan pemangku kebijakan di kawasan Bandung Raya, menyampaikan beberapa dampak negative bagi lingkungan yang dapat timbul akibat timublan sampah yang tidak dikelola ini serta ancaman over kapasitas TPAS Sarimukti apabila sampah dari sumber tidak dikendalikan.
Namun sayang, selain waktu yang disediakan pihak protokol sangat sempit, artinya Walhi hanya diberikan waktu selama 40 menit serta pihak provinsi tidak menangkap apa yang dipaparkan walhi, sehingga pertemuan ini tidak menghasilkan apa-apa sebagaimana tujuan dan harapan Walhi.
Pertemuan (audensi) pertama tidak mendapatkan informasi utuh, maka Walhi kembali menyampaikan surat audensi kedua dengan maksud dan tujuan yang sama seperti apa yang ditargetkan pada audensi pertama. Namun kembali disayangkan, ketika dikonfirmasi kesediaan pihak gubernur untuk menerima walhi bertemua via chat beliau tidak punya waktu untuk menerima kami.
Termasuk pihak DPRD komisi 4 yang kami minta untuk berdialog (audensi) sampai dua kali walhi mengirimkan surat permohonan audensi pun tidak ada tanggapan serius dan tidak punya waktu
untuk membahas permasalahan sampah di kawasan Bandung Raya.
Pengamatan lapangan Walhi di Pasar Induk Gede Bage, dimana pasar induk ini memiliki potensi lahan yang bisa digunakan sebagai lokasi pengelolaan sampah tapi tidak dimanfaatkan baik oleh pengelola maupun oleh pemerintah dalam hal ini PD. Pasar. Selain itu, pasar ini juga memiliki Payuguban Warga Pasar Induk Gedebage (PWPIG) yang bisa dirangkul untuk bisa membantu mengatasi atau melakukan pengelolaan sampah yang dihasilkan dari kegiatan berjualan mereka pun tidak dilibatkan secara maksimal.
Secara struktur Pasar Induk Gede Bage berada di bawah naungan PD. Pasar Kota Bandung (PEMKOT, pen), namun faktanya terdapat 2 (dua) pihak, yaitu: PD. Pasar dan PT. Ginanjar. Dalam pengelolaan
sampah beban tanggungjawab secara umum berupa penanganan dan pengurangan sampah jelas berada dibawah DLH Kota Bandung dengan khususnya PD. Pasar.
Beberapa tahun terakhir terjadi beberapa kali perubahan dalam management atau pengaturan pengelolaan sampah karena buruknya management persampahan serta administrasi terkait
dengan restribusi dalam bentuk iuran para pedagang pasar. Singkatnya DLH Kota Bandung tidak lagi mengurus pengelolaan sampah Pasar Induk Gede Bage secara langsung. Pengelolaan
diserahkan secara penuh kepada PD. Pasar Kota Bandung.Tidak berselang lama PD. Pasar Kota Bandung pun merasa keberatan mengelola sampah Pasar Induk Gede Bage karena alasan yang tidak jauh berbeda dengan DLH Kota Bandung. Selanjutnya, pengelolaan sampah diserahkan sepenuhnya kepada PT. Ginanjar, kemudian PT. Ginanjar memandatkannya kepada PWPIG untuk mengelola sampah Pasar Induk Gede Bage.
Perlu diketahui jenis sampah Pasar Induk Gede Bage 85% adalah sampah organik didominasi oleh sayur-mayur dan buah-buahan, dengan ritase pengangkutan hingga 3 rit per hari, sekitar 40m3. PWPIG sempat melakukan pengolahan sampah organiknya dengan melakukan pencacahan tanpa perlakuan lain. Bahkan banyak perusahaan pengelolaan sampah yang sempat berdatangan untuk bekerjasama namun tidak satupun berjalan.
Dualisme pengelolaan (kelembagaan) pasar menambah kesemrawutan dalam pengelolaan sampah itu sendiri. Informasi ini kami peroleh dari hasil wawancara dengan beberapa orang
anggota Paguyuban perwakilan pedagang pasar. Ketidak-sinergian lintas instansi dinas (DLH) dengan BUMD adalah pemicunya. Dimana, kedua institusi ini tidak saling bantu bahu membahu
mengatasi persoalan sampah di pasar ini.
Alih-alih menyelesaikan persoalan serta membenahi kondisi buruk yang ada, malah menyerahkan persoalan ini kepada pihak lain, tanpa arahan dan monitoring yang jelas. Sampah organik yang seharusnya diolah di sumber dengan mudah saja dibuang ke TPA Sarimukti yang jelas-jelas dilarang oleh Instruksi Gubernur.
Lain halnya TPS3R Kelurahan Rancabolang Kecamatan Gedebage Kota Bandung yang penanggung jawab pengelolaannya langsung di bawah kelurahan. Sejak adanya kebijakan pelarangan sampah organic dibuang ke TPAS Sarimukti kelompok belum pernah menerima informasi atau ada kegiatan sosialisasi secara langsung, baik yang dilakukan DLH maupun pihak lain kepada kelompok. Kalaupun ada, pihak kelompok akan merasa terbantu karena disaat yang sama kelompok kekurangan suplai SOD (sampah organik dapur / food waste). Sementara, kekurangan Sampah Organik Dapur (SOD) ini bukannya dibantu oleh pemerintah atau DLH melainkan dibantu oleh komunitas lain.
Kelompok pernah melakukan kegiatan sosialisasi pemilahan kepada warga, namun pada tahap implementasi mereka masih banyak yang bandel untuk bisa terbiasa memilah sampahnya. Kalaupun warga diharuskan memilah sampahnya, ini masih sulit dilakukan karena ketiadaan aturan sebagai landasan hukum bagi warga atau instrumen penegakan hukum bagi kelompok.
Di satu sisi, kalaupun pihak kelurahan mengeluarkan peraturan dibutuhkan instrument yang jelas dari pimpinan diatasnya (camat). Pernah dilakukan untuk menghimbau warga agar melakukan pemilahan SOD (sampah organik dapur) sebagai syarat pengurusan dokumen-dokumen pelayanan di kelurahan, namun tidak ditangapi serius oleh Camat.
Sempat ada proses pemilahan di sumber tatkala turunnya surat edaran Sekda Provinsi yang menetapkan Zero Food Waste serta Surat Edaran Penjabat Walikota “Tidak Dipilah Tidak Diangkut”. Hasilnya, warga mulai melakukan aksi pemilhan di 8 Rukun Warga, dari 12 RW yang terdapat di Kelurahan Rancabolang. Tapi mereka masih dihadapkan pada sarana pendukung yang memadai untuk mengolah sampahnya. Salah satunya 1 (satu) RW yang berada di lingkungan Perumahan Sumarecon yang dikelola secara mandiri per 14 Oktober 2024. Hingga saat ini s.o.d terpilah menumpuk yang tidak bisa dipungkiri pada akhirnya akan beujung ke TPA juga.
Satu hal yang menjadi keberatan mereka tatkala sudah melakukan pemilahan dan pengelolaan tapi retribusi masih ditarik. Maka dari itu, mereka mengusulkan agar dihitung ulang besaran retribusi secara proporsional dan adil pada kelompok, warga maupun komunitas yang sudah melakukan praktek pengurangan sampah.
Respon Pemerintah Jilid II
Dari beberapa aksi atau kegiatan walhi lakukan baik advokasi dan observasi yang kemudian disebarluaskan ke publik melalui media massa, pemerintah mulai merespon serius apalagi setelah kekhawatiran dan prediksi Walhi akan semakin kritisnya daya tampung TPAS Sarimukti yang sudah tidak bisa lagi menampung (over load) kiriman sampah Bandung Raya pun terjadi di beberapa bulan ke belakang, seperti halnya yang dilakukan pemerintah provinsi yang diwakili oleh sekda Provinsi melakukan beberapa pertemuan penting dengan beberapa stakeholder (KDH) di wilayah Bandung Raya tanggal 3 Oktober 2024 di Gedung Sate, serta Rapat Pimpinan bersama Bapak Pj. Gubernur Jabar tanggal 5 Oktober 2024 di Gedung Pakuan yang menghasilkan beberapa kesepakatan serta himbauan untuk para KDH di wilayah Bandung Raya segera melakukan upaya-upaya, sebagai berikut :
1. Melaksanakan program Zero Food Waste di semua kantor OPD Kab/Kota masing-masing, mulai efektif tanggal 7 Oktober 2024;
2. Mengkonsolidasikan dan mengarahkan para Camat dan Lurah/Kepala Desa di wilayahnya masing-masing untuk melaksanakan sosialisasi dan diseminasi program Zero Food Waste
ke tengah-tengah masyarakat mulai tanggal 7 Oktober 2024;
3. Melakukan pengurangan kiriman sampah dari wilayahnya masing-masing ke TPPAS Sarimukti sesuai komitmen bersama, yakni : Kota Bandung, dari 170 rit menjadi 140 rit; Kabupaten Bandung, dari 70 rit menjadi 40 rit; Kota Cimahi, dari 37 rit menjadi 17 rit; Kabupaten Bandung Barat, dari 20 rit menjadi 17 rit;
4. Target pengurangan pengiriman sampah dimaksud dilaksanakan dalam rentang waktu 2 bulan (sampai tanggal 30 November 2024). Dengan catatan dilaksanakan secara benar, karena proses pengurangan sampah dari rumah tangga dan lingkungan melalui program Zero Food Waste dan penggunaan teknologi tepat guna, bukan dibuang ke sungai (Citarum) atau cara lainnya yang tidak benar;
5. Melaksanakan monitoring dan evaluasi secara serius dan berkelanjutan agar pelaksanaannya berjalan sukses tanpa ekses. Apabila ada kendala dan/atau masalah, agar segera menyampaikan laporan pada kesempatan pertama.
Lain halnya dengan pemerintah Kota Bandung yang mengeluarkan kebijakan berupa Surat Edaran Penjabat Walikota “Tidak Dipilah Tidak Diangkut”. Namun, dari beberapa kebijakan yang diambil baik oleh pemerintah provinsi maupun Kabupaten/kota pun belum bisa secara signifikan membatasi volume timbulan sampah yang dibuang ke TPAS Sarimukti. Dikarenakan sifatnya hanya berupa himbauan gebrakan semata, bukan tindakan nyata secara sistematis, terpimpin, dan lain sebagainya.
Berkaca dari kondisi tersebut, walhi menilai masalah sampah bukanlah hal prioritas yang mesti segera diselesaikan. Bahkan, adanya Intruksi Gubernur inipun terkesan hanya sebatas gugur
kewajiban pemerintah provinsi akan tanggungjawab dan kewenangannya.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat tidak menunjukkan keseriusan dalam implementasi Instruksi Gubernur tersebut. Mereka cenderung membiarkan sampah organik mengalir terus ke TPA
Sarimukti tanpa penindakan dan pengawasan apapun.
Pemerintah terkesan sangat menunggu-nunggu terrealisasinya rencana penanganan sampah dengan mengandalkan PLTSa di Legok Nangka untuk mengendalikan persoalan ini secara
instan.
Paling tidak, ada beberapa alasan utama mengapa pemerintah patut melupakan rencana pembangunan PLTSa. Pertama tidak baik untuk lingkungan, dan kedua tidak baik untuk kesehatan. Selain dua hal tersebut, ada lagi satu alasan mendasar mengapa proyek ini tidak berguna, yaitu mubadzir.
Dalam konteks pencemaran lingkungan, proses pembakaran sampah akan meningkatkan produksi gas rumah kaca yang artinya turut mempercepat perubahan iklim. Menurut penghitungan Zero Waste Europe, setiap satu ton sampah yang dibakar akan menghasilkan 1,7 ton CO2. Dengan jumlah sampah harian DKI Jakarta yang mencapai 7.702 ton, jika diasumsikan semua sampah tersbut dibakar, dalam sehari PLTSa dapat menghasilkan 13.093 ton CO2 atau 4.779.091 ton CO2 pertahun.
Selain itu, dalam prakteknya, sistem pembakaran sampah seperti PLTSa akan menghasilkan dioksin, sebuah senyawa kimia beracun yang banyak dihasilkan dari pembakaran sampah plastik. Selain mencemari lingkungan secara langsung, dioksin juga mampu berpenetrasi dalam rantai makanan. Contohnya seperti yang terjadi pada telur-telur di Desa Bangun, Surabaya.
Dalam hal kesehatan, dioksin turut mengancam kelangsungan hidup manusia. Paparan racun ini dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan berbagai permasalahan kesehatan.
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), senyawa beracun ini dapat menyebabkan kanker, menyerang sistem imun, dan mempengaruhi sistem reproduksi. Sialnya, seperti sudah disinggung sebelumnya, selain bertebaran di udara, dioksin juga memiliki kemampuan masuk ke dalam rantai makanan. Dengan kata lain, risiko paparan racun ini untuk manusia dan hewan Semakin tinggi. (Bella Nathania (ICEL) dalam webinar “Potret Tata Kelola Sampah Jakarta Hari Ini” yang diselenggarakan Walhi Jakarta dan Siaran Pers KPK “Kajian Listrik Tenaga Sampah” 6 Maret 2020)
Mengacu pada undang-undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah khususnya dalam Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah Provinsi Dan Daerah Kabupaten/Kota adalah Pengembangan sistem dan pengelolaan persampahan regional. Serta UU 18 2008 tentang Pengelolaan Sampah yang didalamnya menjelaskan terkait fasilitasi kerjasama antar daerah, menyelenggarakan koordinasi, pembinaan, dan pengawasan kinerja kabupaten/kota. Dan fasilitasi penyelesaian perselisihan antar kabupaten/antar kota dalam provinsi. Lebih jauh lagi kewenangan provinsi dalam undang-undang pengelolaan sampah adalah Pengembangan sistem dan pengelolaan persampahan regional serta Penanganan sampah di TPA/TPST regional.
Artinya pemerintah provinsi berkewajiban untuk mengawal dan mengevaluasi secara seksama. Bahkan, kalau memungkinkan reward maupun punishment perlu diterapkan agar pelanggaran atau ketidak-patuhan para penanggungjawab pengelolaan sampah atas kebijakan atau kesepakatan yang telah disepakati bersama di tingkat Kabupaten Kota tidak terjadi dikemudian hari. Seperti hal Pemerintah Kota berkewajiban untuk menekan dan melakukan pengawasan kepada para pengelola kawasan komersil tersebut untuk melakukan pengurangan sampah organiknya, dengan menggunakan instrumen perizinan atau kewajiban pengelolaan sampah bagi pengelola kawasan komersil, sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 9 Tahun 2018 Tentang Pengelolaan Sampah khusus pada pasal 24, 27 dan 59.
Kawasan komersil yang notabene memiliki izin usaha dan memiliki lembaga pengelola bertanggungjawab untuk melakukan pengelolaan sampah secara mandiri (tanpa harus membebani APBD), sesuai dengan PP 81 Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga yang dapat dijadikan instrumen kontrol oleh pemerintah kota dalam hal mendorong pengurangan sampah organik.
Mengutip data food waste atau Sampah Sejenis Rumah Tangga (SSRT) DLH Provinsi Jawa barat tahun 2022 Cekungan Bandung atau Bandung Raya memproduksi sampah organik sekitar
2.327 ton perhari dan produksi sampah organik terbanyak Kota Bandung berasal dari kawasan komersil, seperti pasar, hotel, restoran, kafe, rumah sakit, mall, dll yang mencapai, 874 ton
sisanya sekitar 515 ton berasal dari rumah tangga.
Lebih penting untuk diketahui secara seksama, kalau situasi ini terus terjadi maka TPAS Sarimukti yang sudah overload sebelum masa habis kontrak pemakaiannya pada tahun 2025 dan konon ada permintaan perpanjangan kontrak penggunaan Sarimukti hingga 2028, sementara TPA Legok Nangka belum siap beroperasi. Hal ini memunculkan resiko krisis sampah yang lebih besar lagi di Metro Bandung.


Dampak lainnya yang tidak boleh disepelekan adalah gas metan dari sampah. Mengutip dari tulisan Anggita Dhiny Rarastri di artikel Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Kalimantan-KLHK berjudul: “Kontribusi Sampah Terhadap Pemanasan Global”, meningkatnya jumlah emisi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer disebabkan oleh kegiatan manusia dari berbagai sektor yang salah satunya adalah sampah.
Manusia dalam setiap kegiatannya hampir selalu menghasilkan sampah.Sampah mempunyai kontribusi besar untuk emisi gas rumah kaca yaitu gas metan (CH4) diperkirakan 1 ton sampah
padat menghasilkan 50 kg gas metana.
Emisi GRK dari seluruh TPA di Jawa Barat pada tahun 2030 diperkirakan mencapai 2,6 juta ton CO₂eq. Studi GAIA memperlihatkan bahwa pelarangan sampah organik ke TPA dari Kota Bandung saja dapat menurunkan emisi GRK sebesar 575.428 ton CO₂eq, atau sekitar 22% dari Emisi GRK total di TPA.
Berkaca dari kondisi diatas, walhi mendesak agar pemerintahan provinsi Jawa Barat dan para pemangku kebijakan di kawasan Bandung Raya menempatkan isu persampahan menjadi isu
prioritas, sehingga dampak yang ditimbulkannya bisa diminimalisir.
Desakan dan merekomendasi yang Walhi Jabar sampaikan diantaranya:
1. Pemerintahan provinsi Jawa Barat dan para pemangku kebijakan di kawasan Bandung Raya memposisikan isu sampah menjadi isu prioritas atau urusan wajib
2. Mendorong ekspansi sistem pengelolaan sampah secara terpilah di sumber, pengolahan sampah organik sedekat mungkin dengan sumber, bukan ke teknologi pembakaran (RDF dan insinerator);
3. Mendorong kebijakan peningkatan anggaran penanganan sampah di semua level;
4. Menyusun Perda Provinsi atau Peraturan GubernurTentang Pengelolaan sampah organic di sumber yang didalamnya mengatur:
(Penegakan hukum, pengawasan dan pembinaan yang berkesinambungan)
(Kerjasama antar daerah dalam hal keterbatasan fasilitas atau lahan untuk pendirian (TPS3R) )
5. Menekan perusahaan makanan berkemasan plastik supaya mengelola bungkus kemasannya;
6. Memfasilitasi kerjasama antar lembaga di lingkungan Pemerintah Provinsi (OPD) untuk mendukung proses dan hasil pengelolaan sampah di sumber;
7. Segera membuat kebijakan olah organik lintas wilayah, lebih khusus kota-kota besar yang tidak memiliki cukup lahan untuk pengolahan;
8. Memfasilitasi kerjasama antar Kabupaten/Kota atas berbagai kendala yang dihadapi masing-masing daerah;
9. Pemerintah Pusat segera melakukan sinergi lintas kementerian, lintas lembaga yang dilegalkan dalam bentuk aturan beserta anggarannya;
10. Mendorong Pemerintah pusat untuk turut andil dalam menanggulangi berbagai kekurangan, kelemahan dan keterbatasan yang dimiliki daerah;


Pemerintah Kabupaten/Kota
• Kemudahan birokrasi dan izin bagi komunitas yang ingin terlibat dalam pengelolaan sampah khususnya sampah organic;
• Pembinaan, pengawasan, reward dan punishment pada para pengelolaa kawasan komersil;
• Menyusun dan menerbitkan kebijakan PERDA pengelolaan sampah di sumber;
• Membina, membimbing, mengawasi, dan membantu penyediaan fasilitas sarana dan prasarana yang dibutuhkan komunitas (RT/RW) dalam pengelolaan sampah;
• Fasilitasi dan dukungan kepada komunitas pengelola sampah, khususnya organik yang berkeinginan kerjasama dengan pengelola kawasan komersil. Termasuk membantu pemasaran hasil penanganan sampah organik (maggot);
• Mendistribusikan s.o.d terpilah di beberapa kelurahan yang telah melakukan pemilahan s.o.d kepada para pegiat maggot baik di dalam wilayah administrasi maupun ke luar wilayah;
• Mengkaji ulang kebijakan retribusi penarikan sampah secara proporsional bagi warga atau komunitas yang sudah menerapkan pemilahan di sumber

MINUTES OF MEETING - ZOOM MEETING KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP BERSAMA PAGUYUBAN PEGIAT MAGGOT NUSANTARA

KAMIS 10 APRIL 2025   PROLOG Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, merupakan sebuah kesempatan yang baik d...