Selasa, 22 Februari 2022

BELATUNG PENJINAK BOM WAKTU



Selamat Memperingati HARI PEDULI SAMPAH NASIONAL

Siaran Pers

BELATUNG PENJINAK BOM WAKTU

 

BANDUNG (PPM): Tanggal 21 Februari ditetapkan sebagai Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) oleh pemerintah, atas usulan Kementerian Lingkungan Hidup (kini ditambah Kehutanan, sehingga dari KLH menjadi KLHK). Kenapa memilih tanggal 21 Februari?

 

Tanggal tersebut dipilih, untuk memperingati meledaknya gas metana yang terkonsentrasi  di dalam gunung sampah, di Tempat Pembuangan Ahir (TPA) Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat, pada 21 Februari 2005, sekira pukul 02.00, saat hujan deras mengguyur sejak Magrib.

 

Ledakan yang terjadi, melongsorkan gunung sampah seluas 200 meter dengan ketinggian 60 meter, hingga menimbun dua kampung, yaitu Cilimus dan Pojok. Setelah 10 hari dilakukan evakuasi, tercatat 157 jasad manusia yang tertemukan. Jika evakuasi terus dilakukan, sangat mungkin ditemukan jasad lain. Portal IDTimes pada 21 Februari 2020, memuat tuturan Wahyudi yang menceritakan, salah satu teman karibnya sesama pemulung, tidak ditemukan hingga sekarang.

 

Seandainya kala itu para pemangku kebijakan di bidang persampahan memperhatikan temuan pakar lingkungan (ITB) Prof. Dr. Ir. Enri Damanhuri, yang melakukan survey sebelum ledakan terjadi, mungkin musibah tidak terjadi, atau setidaknya bisa lebih terantisipasi. Survey Prof. Enri menemukan data, konsentrasi gas metana di TPA Leuwigajah mencapai 10 hingga 12 persen. Jika tekanan gas metana sudah mencapai 12 persen, dan terkonsentrasi dalam suatu wadah atau tempat, dapat melahirkan ledakan seperti di TPA Leuwigajah itu.

 

Gunung sampah di TPA Leuwihgajah yang semula memiliki banyak celah untuk keluarnya gas metana, kemudian menjadi tertutup celahnya oleh air dari guyuran hujan semalaman, sehingga gas metana tidak bisa keluar, dan semakin terkonsentrasi di bawah gunung sampah. Dan, meledaklah gunung sampah itu.

 

Metana adalah gas alam beracun tanpa warna, dan amat mudah terbakar. Gas ini bisa dihasilkan dari penguraian sampah organik dari berbagai jenis, yang dilakukan oleh bakteri pembusuk yang tidak nampak, dan terjadi di tempat yang nihil oksigennya (anaerob).

 

Gunung sampah organik nyata bisa menjadi bom waktu, yang akan meledak jika tidak dijinakan sedari awal. Solusinya, amankan sampah!

 

Untuk mengenang 17 tahun peristiwa TPA Leuwigajah itu, kepada Paguyuban Pegiat Maggot (PPM) Jawa Barat, Prof. Enri mengingatkan, kini Bandung Raya dihadapkan kembali pada krisis sampah, yang mulai menggunung di TPA Sarimukti, yang berlokasi di Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat. TPA Sarimukti adalah pengganti TPA Leuwigajah.

 

Prof. Enri membeberkan data tahun 2018 (hasil survey ITB), yang kemudian dipaparkan di hadapan DPRD Jabar pada 2021, bahwa sampah yang diproduksi Bandung Raya adalah seperti ini:

1.      Kota Bdg: 1.630 t/h – dibuang ke Sarimukti: 1.335,

2.      Cimahi: 369 t/h dibuang ke Sarimukti: 229,

3.      Kab. Bandung: 13.55 – dibuang ke Sarimukti: 230,

4.      KBB: 1.135 – dibuang ke Sarimukti: 161.

 

 

Upaya yang Lamban

 

Sementara itu, TPA Sarimukti makin kritis karena lahan terbatas, dan operasional sering terganggu. Sedangkan rencana pembangunan TPA Legoknangka (program Kerjasama Kota Bandung dengan pihak swasta), paling cepat tiga tahun lagi baru bisa beroperasi. Dalam tiga tahun, TPA Sarimukti sudah pasti makin berjejal dengan sampah.

Upaya lain untuk mengurangi sampah dari sumbernya, khususnya Kota Bdg dan Cimahi yang telah membuat program, belum begitu terlihat hasilnya. Lalu fasilitas yang tersedia, seperti TPS3R dan POO, belum secara signifikan menunjukkan perannya, khususnya untuk mengolah sampah organik. Program kota Bandung yang dicanangkan sekitar 5 tahun lalu, yaitu penggunaan teknologi biodigester untuk skala individu dan kawasan, juga belum menunjukkan kemajuan yang menggembirakan untuk mengolah sampah organik dapur (SOD), padahal SOD itulah yang melahirkan ledakan Leuwigajah.

 

Juga program Kang Pisman (kurangi, pisahkan, manfaatkan) di Kota Bandung, terasa berjalan lambat, maka harus digalakan lebih gencar.


Dalam pada itu, penggunaan teknologi skala kecil, seperti insinerator, hanya berhasil baik bila digunakan untuk mengolah sampah kering. Sebab biaya operasinya tinggi, maka insinerator sangat rentan malahirkan penolakan dari masyarakat.

 

“Mengolah sampah organik dengan cara ini, akan tambah menaikkan biaya operasi konsumsi solar dan tidak menghasilkan produk bernilai jual untuk mengurangi biaya pengolahan,” kata Prof. Enri.

Solusi Cepat, Tepat, Murah

 

Gas metana dilahirkan oleh sampah organik. Karena itu, sampah ini harus bisa dikurangi, bila mungkin, sampai nol persen. Prof. Enri melirik pada biokonversi sampah organik melalui ternak maggot BSF, sebagai solusi yang dapat dilakukan guna mengurangi pembuangan sampah ke TPS (tempat pembuangan sementara), yang nantinya pasti diteruskan ke TPA. Ternak maggot bisa dilakukan dengan teknologi yang murah dan mudah, di tingkat perorangan atau komunitas, serta memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi.

 

“Bila pengurangan sampah organik yang dihasilkan dapat dilakukan di sumber, walau hanya sebagian, di samping akan mengurangi beban penggunaan fasilitas yang tersedia, dana tersebut dapat dialihkan untuk mensubsidi operasional pengurangan sampah organik tersebut, sehingga akan menjamin keberlangsungan kegiatan tersebut, dan sekaligus memberdayakan dan meningkatkan masyarakat yang berkecimpung dalam pengolahan sampah organik, khususnya dengan metode BSF,” kata Prof. Enry.

 

 

DATA KOMPOSISI SAMPAH KOTA BDG (SIPSN, 2020)

Prof. Enri juga melansir data jumlah sampah sebanyak 1.587 t/h, ternyata berasal dari rumah tangga mencapai 60%, dan 10% berasal dari pasar. Dari 60% sampah rumah tangga itu, berasal dari sisa makanan mencapai 44,52%, daun-ranting mencapai 3,98%. Adapun data sampah sisa buah-sayur dari sampel 5 pasar tradsional di Bandung (ITB 2018), mencapai angka di atas 80% dari total sampah (data ITB, 2018), dengan perincian seperti ini:


Sampah sisa buah-sayur pasar Gedebage di Bandung mencapai 7 t/h (data ITB, 2018),
Potensi besar bila kota Bandung mempunyai program mengolah sampah organik di sumber: rumah tangga, lingkungan warga, pasar, hotel, restoran

Dari sudut kapasitas, pengolahan sampah di sumber tidak akan mengganggu program pengolahan terpusat di Legoknangka dalam hal komitmen dengan Propinsi Jawa Barat, malah akan meningkatkan kinerja pengolahan terpusat tsb dalam capaian energi listrik, karena sampah basah dan bagian yang mempunyai nilai kalor rendah sudah diselesaikan di sumber.

Perbandingan Kemampuan Pengolahan Sampah Organik

Prof. Enri membuat perbandingan tiga metode pengolah sampah organik:

(1) pengomposan,

(2) biogas pada biodigester,

(3) BSF dengan teknologi yang umum digunakan, sudah biasa diterapkan, hanya belum secara serius diperhitungkan

Dari ketiga cara tersebut dalam mengurangi volume sampah organik, dan sekaligus menghasilkan produk bermanfaat:
kompos bermanfaat untuk produksi pupuk, tapi butuh waktu relatif lama, antara 2 – 4 bulan.
gas metan dan slurry pupuk untuk melahirkan proses biogas – biodigester, membutuhkan biaya yang cukup besar.
larva maggot dan kompos (proses BSF), biaya relatif murah.

Ketiganya membutuhkan pemilahan dan pemisahan yang tertib pada sampah masuk, agar residu bermafaat berkualitas baik. Bila tidak, residu akan menjadi beban lingkungan, karena kualitas-kuantitas-kontinuitas belum memenuhi kriteria kebutuhan penggunanya.

Metode BSF relatif lebih unggul dibanding pengomposan dan biogas-biodigester karena:
produk bermanfaat langsung: larva mengandung protein tinggi dan langsung dapat digunakan untuk pakan ternak-ikan
produk bermanfaat langsung: kompos mempunyai kualitas yang lebih baik dari pengomposan biasa

larva dapat diproses lebih lanjut menjadi bahan baku skala industry pada industry farmasi, kosmetika, selain sebagai bahan pakan dalam bentuk pelet.

Syarat Penerapan Metode BSF (dan metode pengolahan organic lainnya).
Prof. Enri menurutkan, ada tiga sumber sampah organik yang sangat potensial:
1. Sampah organik dapur (SOD) dari rumah tangga: membutuhkan pendekatan khusus pada warga agar bersedia dan konsisten memisah-memilah sampah dapurnya. Hal yang sama sebetulnya dibutuhkan pada proses pengomposan dan biogas-biodigester agar produk akhirnya bermanfaat dan mempunyai nilai ekonomi tinggi. Perlu pendekatan sosio-engineering dan konsistensi Pemda dalam program pendampingan.
2. Sampah buah-sayur dari pasar tradisional: potensi yang sangat besar bila koordinasi antar dinas terkait dapat ditingkatkan dan disinergikan, disamping dukungan kebijakan dari pemerintah daerah.
3. Sampah sisa makanan dari hotel-restoran: mempunyai kualitas sejenis sampah dapur dari rumah tangga. Pendekatannya lebih condong pada kerjasama professional, yang perlu dukungan kebijakan pemerintah daerah.


Sebetulnya Pasal 13 UU-18/2008 dan turunannya mewajibkan pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, dan yang lain untuk menyediakan fasilitas pemilahan. Pemilahan yang paling sederhana dan efektif adalah memisahkan sampah organik, khususnya sampah dapur, dengan yang lain. Tercampurnya sampah dapur dengan yg lain, menyebabkan masalah serius pada estetika, bau, dan Kesehatan masyarakat-lingkungan bila tidak terangkut. Amanat UU tsb. sampai saat ini belum dilaksanakan secara konsisten.

Sustainabilitas program
Adalah fakta hingga saat ini belum dijumpai sebuah negara yang mampu menangani sampah kotanya, tanpa biaya, walau sebagian sampah mempunyai nilai ekonomi, atau hasil produk pengolahannya mempunyai nilai ekonomi, tetapi bila dikaitkan dengan biaya penanganan dan pengolahan secara keseluruhan, manfaat ekonomi tsb belum mampu menutup biaya operasi. Biaya pengelolaan sampah sebagian besar digunakan untuk biaya pengumpulan, biaya pengangkutan, biaya pengolahan dan biaya pemrosesan akhir dari residunya.


Kajian akademis ITB (2019), menunjukkan:
biaya pengelolaan sampah dari pengumpulan (sebagian besar berasal dari  penghasil -warga) sampai pemrosesan akhir di TPA Sarimukti lebih dari Rp. 200.000/ton
Sekitar 60% digunakan untuk mengangkut sampah ke TPA Sarimukti
Sekitar 29% digunakan untuk menimbun sampah di TPA Sarimukti
Bila pengurangan sampah organik yang dihasilkan dapat dilakukan di sumber, walau hanya sebagian, di samping akan mengurangi beban penggunaan fasilitas yang tersedia, dana tersebut dapat dialihkan untuk mensubsidi operasional pengurangan sampah organik tersebut, sehingga akan menjamin keberlangsungan kegiatan tersebut, dan sekaligus memberdayakan dan meningkatkan masyarakat yang berkecimpung dalam pengolahan sampah organik, khususnya dengan metode BSF.

 

Suara PPM

 


Dalam acara ZOOM untuk memperingati Hari Peduli Sampah Nasional di tingkat Jawa Barat, yang digelar pada 17 Februari 2022, yang diselenggarakan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jawa Barat, Paguyuban Pegiat Maggot (PPM) Nusantara untuk wilayah Jawa Barat, Dadan Ramdan menyampaikan informasi melalui fasilitas chat grup dalam zoom, kita semua sudah sama-sama maklum bahwa sampah organik sisa makanan adalah komposisi sampah terbesar dari total timbulan sampah (40%). Seiring dengan hal tersebut, Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 serta turunannya, Peraturan Gubernur Jawa Barat, menegaskan bahwa target pengurangan sampah sebesar 30% pada tahun 2025. Sampah sisa makanan ini sangat mudah diolah karena mudah terdegradasi lebih khusus menggunakan biokonversi maggot BSF.

 

Oleh karena itu, sampah sisa makanan tersebut tidak selayaknya dikirim ke TPA. PPM Jabar tersebar di seluruh kabupaten & kota di Jawa Barat.

 

“Kami siap membantu pemerintah dalam hal ini. Apa tidak cukup kejadian meledaknya gunungan sampah di Leuwihgajah, kemudian mengubur ratusan manusia...? Tidak hanya korban jiwa, bahkan bumi ini semakin panas salah satunya disebabkan oleh gunungan sampah organik di TPA. Selurh dunia merasakan dampaknya. Jika ini terus dilakukan jelas perbuatan tersebut adalah perbuatan zhalim. Ibu Kadis LH Jawa Barat bertanggung jawab atas kondisi ini,” kata Dadan Ramdan.

 

Ia menambahkan, PPM menghimbau kepada Kadis LH Jabar beserta jajarannya, untuk tidak menerima lagi sampah sisa makanan di TPA. Sampah sisa makanan sangat bisa diolah di sumber dengan biokonversi maggot BSF, dan PPM yang tersebar di seluruh Jawa Barat, siap membantu mengolahnya hingga tidak ada lagi sampah sisa makanan yang dikirim ke TPA.

 

“Kami berharap Kadis LKH Jabar melalukan instruksi kepada Pemerintah Kabupaten dan Kota di Jawa Barat untuk bersama-sama, bersinergi mengolah sampah sisa makanan sedekat mungkin dengan sumbernya,” kata Dadan.

 

Bila pengurangan sampah organik yang dihasilkan dapat dilakukan di sumber, walau hanya sebagian, di samping akan mengurangi beban penggunaan fasilitas yang tersedia, dana tersebut dapat dialihkan untuk mensubsidi operasional pengurangan sampah organik tersebut, sehingga akan menjamin keberlangsungan kegiatan tersebut, dan sekaligus memberdayakan dan meningkatkan masyarakat yang berkecimpung dalam pengolahan sampah organic, khususnya dengan metode BSF.

JAWA BARAT DALAM BAYANG INVESTASI MEMANEN BENCANA BUKAN SEJAHTERA

Senin, 23 Desember 2024 WALHI Jawa Barat merelease CATAHU (Catatan Akhir Tahun 2024) di Sekretarian WALHI Jawa Barat Jalan Shimponi Kota B...