Selamat Memperingati HARI PEDULI SAMPAH NASIONAL
Siaran Pers
BELATUNG
PENJINAK BOM WAKTU
BANDUNG (PPM): Tanggal 21 Februari ditetapkan sebagai Hari Peduli
Sampah Nasional (HPSN) oleh pemerintah, atas usulan Kementerian Lingkungan
Hidup (kini ditambah Kehutanan, sehingga dari KLH menjadi KLHK). Kenapa memilih
tanggal 21 Februari?
Tanggal tersebut dipilih, untuk memperingati meledaknya gas metana
yang terkonsentrasi di dalam gunung sampah,
di Tempat Pembuangan Ahir (TPA) Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat, pada 21
Februari 2005, sekira pukul 02.00, saat hujan deras mengguyur sejak Magrib.
Ledakan yang terjadi, melongsorkan gunung sampah seluas 200 meter
dengan ketinggian 60 meter, hingga menimbun dua kampung, yaitu Cilimus dan
Pojok. Setelah 10 hari dilakukan evakuasi, tercatat 157 jasad manusia yang
tertemukan. Jika evakuasi terus dilakukan, sangat mungkin ditemukan jasad lain.
Portal IDTimes pada 21 Februari 2020, memuat tuturan Wahyudi yang menceritakan,
salah satu teman karibnya sesama pemulung, tidak ditemukan hingga sekarang.
Seandainya kala itu para pemangku kebijakan di bidang persampahan
memperhatikan temuan pakar lingkungan (ITB) Prof. Dr. Ir. Enri Damanhuri, yang
melakukan survey sebelum ledakan terjadi, mungkin musibah tidak terjadi, atau
setidaknya bisa lebih terantisipasi. Survey Prof. Enri menemukan data,
konsentrasi gas metana di TPA Leuwigajah mencapai 10 hingga 12 persen. Jika
tekanan gas metana sudah mencapai 12 persen, dan terkonsentrasi dalam suatu
wadah atau tempat, dapat melahirkan ledakan seperti di TPA Leuwigajah itu.
Gunung sampah di TPA Leuwihgajah yang semula memiliki banyak celah
untuk keluarnya gas metana, kemudian menjadi tertutup celahnya oleh air dari guyuran
hujan semalaman, sehingga gas metana tidak bisa keluar, dan semakin
terkonsentrasi di bawah gunung sampah. Dan, meledaklah gunung sampah itu.
Metana adalah gas alam beracun tanpa warna, dan amat mudah terbakar.
Gas ini bisa dihasilkan dari penguraian sampah organik dari berbagai jenis, yang
dilakukan oleh bakteri pembusuk yang tidak nampak, dan terjadi di tempat yang
nihil oksigennya (anaerob).
Gunung sampah organik nyata bisa menjadi bom waktu, yang akan meledak
jika tidak dijinakan sedari awal. Solusinya, amankan sampah!
Untuk mengenang 17 tahun peristiwa TPA Leuwigajah itu, kepada
Paguyuban Pegiat Maggot (PPM) Jawa Barat, Prof. Enri mengingatkan, kini Bandung
Raya dihadapkan kembali pada krisis sampah, yang mulai menggunung di TPA
Sarimukti, yang berlokasi di Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat. TPA
Sarimukti adalah pengganti TPA Leuwigajah.
Prof. Enri membeberkan data tahun 2018 (hasil survey ITB), yang kemudian
dipaparkan di hadapan DPRD Jabar pada 2021, bahwa sampah yang diproduksi
Bandung Raya adalah seperti ini:
1. Kota Bdg: 1.630 t/h – dibuang ke
Sarimukti: 1.335,
2. Cimahi: 369 t/h dibuang ke Sarimukti:
229,
3. Kab. Bandung: 13.55 – dibuang ke
Sarimukti: 230,
4. KBB: 1.135 – dibuang ke Sarimukti:
161.
Upaya yang
Lamban
Sementara itu, TPA Sarimukti makin kritis karena lahan terbatas, dan
operasional sering terganggu. Sedangkan rencana pembangunan TPA Legoknangka
(program Kerjasama Kota Bandung dengan pihak swasta), paling cepat tiga tahun
lagi baru bisa beroperasi. Dalam tiga tahun, TPA Sarimukti sudah pasti makin
berjejal dengan sampah.
Upaya lain untuk mengurangi sampah dari sumbernya, khususnya Kota Bdg dan
Cimahi yang telah membuat program, belum begitu terlihat hasilnya. Lalu fasilitas
yang tersedia, seperti TPS3R dan POO, belum secara signifikan menunjukkan
perannya, khususnya untuk
mengolah sampah organik. Program kota Bandung yang dicanangkan sekitar 5 tahun
lalu, yaitu penggunaan teknologi biodigester untuk skala individu dan kawasan,
juga belum menunjukkan kemajuan yang menggembirakan untuk mengolah sampah
organik dapur (SOD), padahal SOD itulah yang melahirkan ledakan Leuwigajah.
Juga program Kang Pisman (kurangi, pisahkan, manfaatkan) di Kota
Bandung, terasa berjalan lambat, maka harus digalakan lebih gencar.
Dalam pada itu, penggunaan teknologi skala kecil,
seperti insinerator, hanya berhasil baik bila digunakan untuk mengolah sampah
kering. Sebab biaya operasinya tinggi, maka insinerator sangat rentan malahirkan
penolakan dari masyarakat.
“Mengolah sampah organik dengan cara ini, akan tambah menaikkan biaya
operasi konsumsi solar dan tidak menghasilkan produk bernilai jual untuk
mengurangi biaya pengolahan,” kata Prof. Enri.
Solusi Cepat,
Tepat, Murah
Gas metana dilahirkan oleh sampah organik. Karena itu, sampah ini
harus bisa dikurangi, bila mungkin, sampai nol persen. Prof. Enri melirik pada biokonversi
sampah organik melalui ternak maggot BSF, sebagai solusi yang dapat dilakukan
guna mengurangi pembuangan sampah ke TPS (tempat pembuangan sementara), yang
nantinya pasti diteruskan ke TPA. Ternak maggot bisa dilakukan dengan teknologi
yang murah dan mudah, di tingkat perorangan atau komunitas, serta memiliki
nilai ekonomis yang cukup tinggi.
“Bila pengurangan sampah organik yang dihasilkan dapat dilakukan di
sumber, walau hanya sebagian, di samping akan mengurangi beban penggunaan
fasilitas yang tersedia, dana tersebut dapat dialihkan untuk mensubsidi
operasional pengurangan sampah organik tersebut, sehingga akan menjamin
keberlangsungan kegiatan tersebut, dan sekaligus memberdayakan dan meningkatkan
masyarakat yang berkecimpung dalam pengolahan sampah organik, khususnya dengan
metode BSF,” kata Prof. Enry.
DATA KOMPOSISI
SAMPAH KOTA BDG (SIPSN, 2020)
Prof. Enri juga melansir data
jumlah
sampah sebanyak 1.587 t/h, ternyata berasal dari rumah tangga mencapai 60%, dan
10% berasal dari pasar. Dari 60% sampah rumah tangga itu, berasal dari sisa
makanan mencapai 44,52%, daun-ranting mencapai 3,98%. Adapun
data sampah sisa buah-sayur dari sampel 5 pasar tradsional di Bandung (ITB
2018), mencapai angka di atas 80% dari total sampah (data ITB, 2018), dengan
perincian seperti ini:
• Sampah sisa buah-sayur pasar Gedebage di Bandung mencapai 7 t/h (data
ITB, 2018),
Potensi
besar bila kota Bandung mempunyai program mengolah sampah organik di sumber: rumah
tangga, lingkungan warga, pasar, hotel, restoran
Dari sudut kapasitas, pengolahan sampah di sumber tidak akan
mengganggu program pengolahan terpusat di Legoknangka dalam hal komitmen dengan
Propinsi Jawa Barat, malah akan meningkatkan kinerja pengolahan terpusat tsb
dalam capaian energi listrik, karena sampah basah dan bagian yang mempunyai
nilai kalor rendah sudah diselesaikan di sumber.
Perbandingan Kemampuan
Pengolahan Sampah Organik
Prof. Enri membuat perbandingan tiga metode pengolah sampah organik:
(1) pengomposan,
(2) biogas pada biodigester,
(3) BSF dengan teknologi yang umum digunakan, sudah biasa diterapkan, hanya belum
secara serius diperhitungkan
Dari ketiga cara tersebut dalam mengurangi
volume sampah organik, dan sekaligus menghasilkan produk bermanfaat:
• kompos bermanfaat untuk produksi pupuk, tapi butuh waktu relatif lama,
antara 2 – 4 bulan.
• gas metan dan slurry pupuk untuk melahirkan proses biogas
– biodigester, membutuhkan biaya yang cukup besar.
• larva maggot dan kompos (proses BSF), biaya relatif murah.
• Ketiganya membutuhkan pemilahan dan pemisahan
yang tertib pada sampah masuk, agar residu bermafaat berkualitas baik. Bila
tidak, residu akan menjadi beban lingkungan, karena
kualitas-kuantitas-kontinuitas belum memenuhi kriteria kebutuhan penggunanya.
Metode BSF relatif lebih unggul dibanding pengomposan dan
biogas-biodigester karena:
• produk bermanfaat langsung: larva mengandung protein tinggi dan
langsung dapat digunakan untuk pakan ternak-ikan
• produk bermanfaat langsung: kompos mempunyai kualitas yang lebih baik
dari pengomposan biasa
• larva dapat diproses lebih lanjut
menjadi bahan baku skala industry pada industry farmasi, kosmetika, selain
sebagai bahan pakan dalam bentuk pelet.
Syarat Penerapan
Metode BSF (dan metode pengolahan organic lainnya).
Prof. Enri menurutkan, ada tiga sumber sampah organik yang sangat
potensial:
1.
Sampah organik dapur (SOD) dari rumah tangga: membutuhkan pendekatan khusus
pada warga agar bersedia dan konsisten memisah-memilah sampah dapurnya. Hal
yang sama sebetulnya dibutuhkan pada proses pengomposan dan biogas-biodigester
agar produk akhirnya bermanfaat dan mempunyai nilai ekonomi tinggi. Perlu
pendekatan sosio-engineering dan konsistensi Pemda dalam program pendampingan.
2.
Sampah buah-sayur dari pasar tradisional: potensi yang sangat besar bila koordinasi
antar dinas terkait dapat ditingkatkan dan disinergikan, disamping dukungan
kebijakan dari pemerintah daerah.
3.
Sampah sisa makanan dari hotel-restoran: mempunyai kualitas sejenis sampah
dapur dari rumah tangga. Pendekatannya lebih condong pada kerjasama
professional, yang perlu dukungan kebijakan pemerintah daerah.
Sebetulnya
Pasal 13 UU-18/2008 dan turunannya mewajibkan pengelola kawasan permukiman,
kawasan komersial, kawasan industri, dan yang lain untuk menyediakan fasilitas pemilahan.
Pemilahan yang paling sederhana dan efektif adalah memisahkan sampah organik,
khususnya sampah dapur, dengan yang lain. Tercampurnya sampah dapur dengan yg
lain, menyebabkan masalah serius pada estetika, bau, dan Kesehatan
masyarakat-lingkungan bila tidak terangkut. Amanat UU tsb. sampai saat ini
belum dilaksanakan secara konsisten.
Sustainabilitas
program
Adalah fakta hingga saat ini belum dijumpai sebuah negara yang
mampu menangani sampah kotanya, tanpa biaya, walau sebagian sampah mempunyai nilai
ekonomi, atau hasil produk pengolahannya mempunyai nilai ekonomi, tetapi bila
dikaitkan dengan biaya penanganan dan pengolahan secara keseluruhan, manfaat
ekonomi tsb belum mampu menutup biaya operasi. Biaya pengelolaan sampah
sebagian besar digunakan untuk biaya pengumpulan, biaya pengangkutan, biaya
pengolahan dan biaya pemrosesan akhir dari residunya.
Kajian
akademis ITB (2019), menunjukkan:
• biaya pengelolaan sampah dari pengumpulan (sebagian besar berasal dari
penghasil -warga) sampai pemrosesan
akhir di TPA Sarimukti lebih dari Rp. 200.000/ton
• Sekitar 60% digunakan untuk mengangkut sampah ke TPA Sarimukti
• Sekitar 29% digunakan untuk menimbun sampah di TPA Sarimukti
• Bila pengurangan sampah organik yang dihasilkan dapat dilakukan di
sumber, walau hanya sebagian, di samping akan mengurangi beban penggunaan
fasilitas yang tersedia, dana tersebut dapat dialihkan untuk mensubsidi
operasional pengurangan sampah organik tersebut, sehingga akan menjamin keberlangsungan
kegiatan tersebut, dan sekaligus memberdayakan dan meningkatkan masyarakat yang
berkecimpung dalam pengolahan sampah organik, khususnya dengan metode BSF.
Suara PPM
Dalam acara ZOOM untuk memperingati Hari Peduli
Sampah Nasional di tingkat Jawa Barat, yang digelar pada 17 Februari 2022, yang
diselenggarakan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jawa Barat, Paguyuban Pegiat
Maggot (PPM) Nusantara untuk wilayah Jawa Barat, Dadan Ramdan menyampaikan informasi
melalui fasilitas chat grup dalam
zoom, kita semua sudah sama-sama maklum bahwa sampah organik sisa makanan
adalah komposisi sampah terbesar dari total timbulan sampah (40%). Seiring
dengan hal tersebut, Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 serta turunannya,
Peraturan Gubernur Jawa Barat, menegaskan bahwa target pengurangan sampah
sebesar 30% pada tahun 2025. Sampah sisa makanan ini sangat mudah diolah karena
mudah terdegradasi lebih khusus menggunakan biokonversi maggot BSF.
Oleh karena itu, sampah sisa makanan tersebut
tidak selayaknya dikirim ke TPA. PPM Jabar tersebar di seluruh kabupaten &
kota di Jawa Barat.
“Kami siap membantu pemerintah dalam hal ini.
Apa tidak cukup kejadian meledaknya gunungan sampah di Leuwihgajah, kemudian
mengubur ratusan manusia...? Tidak hanya korban jiwa, bahkan bumi ini semakin
panas salah satunya disebabkan oleh gunungan sampah organik di TPA. Selurh
dunia merasakan dampaknya. Jika ini terus dilakukan jelas perbuatan tersebut
adalah perbuatan zhalim. Ibu Kadis LH Jawa Barat bertanggung jawab atas kondisi
ini,” kata Dadan Ramdan.
Ia menambahkan, PPM menghimbau kepada Kadis LH
Jabar beserta jajarannya, untuk tidak menerima lagi sampah sisa makanan di TPA.
Sampah sisa makanan sangat bisa diolah di sumber dengan biokonversi maggot BSF,
dan PPM yang tersebar di seluruh Jawa Barat, siap membantu mengolahnya hingga
tidak ada lagi sampah sisa makanan yang dikirim ke TPA.
“Kami berharap Kadis LKH Jabar melalukan
instruksi kepada Pemerintah Kabupaten dan Kota di Jawa Barat untuk
bersama-sama, bersinergi mengolah sampah sisa makanan sedekat mungkin dengan
sumbernya,” kata Dadan.
Bila pengurangan sampah organik yang dihasilkan
dapat dilakukan di sumber, walau hanya sebagian, di samping akan mengurangi
beban penggunaan fasilitas yang tersedia, dana tersebut dapat dialihkan untuk mensubsidi
operasional pengurangan sampah organik tersebut, sehingga akan menjamin keberlangsungan
kegiatan tersebut, dan sekaligus memberdayakan dan meningkatkan masyarakat yang
berkecimpung dalam pengolahan sampah organic, khususnya dengan metode BSF.