Jumat, 04 April 2025

Pemilahan dan Pengurangan Sampah di Sumber: Upaya Bijak Penanganan Sampah kota Bandung (silahkan dirubah-disesuaikan judulnya)

Oleh: Enri Damanhuri 

Pengamat masalah sampah


Besarnya penduduk dan keragaman aktivitas di kota, khususnya di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Medan, dan Bandung, mengakibatkan munculnya persoalan dalam pelayanan prasarana perkotaan, seperti masalah sampah. Salah satu indikatornya adalah sampah berserakan. Tidak semua sampah yang dihasilkan setiap hari dari sebuah kota mampu terkelola dengan baik. Secara kasat mata, kebersihan sebuah kota akan bisa dinilai bila kita melintas di pasar tradisional, lokasi sekitar tempat penampungan sementara (TPS), dan tempat tempat keramaian. Sebagian besar sampah yang berhasil dikumpulkan biasanya diangkut ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). 

Pemerintah kota mempunyai tanggung jawab dalam mengelola sampah kota. Namun karena beberapa alasan, dalam banyak kasus mereka belum mampu melaksanakan tugas tersebut, khususnya untuk menjamin pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan dan berkesinambungan. Dikombinasikan dengan urbanisasi yang cepat, serta pengembangan kota yang belum terencana baik, maka diperlukan program aksi yang mendesak untuk memperbaik persoalan tersebut. Pemda sampai saat ini masih berputar-putar dengan persoalan harian yang selalu menjadi keluhan dan tantangan mereka, namun tampaknya belum secara serius mempertimbangkan kemungkinan pengelolaan sampah yang berbasiskan pada reduksi dan pemanfaatan sampah di sumber. 

Kendala utama dalam pengelolaan sampah kota adalah belum adanya kebijakan publik yang mendorong berlakunya pengelolaan sampah secara baik. Selama ini sifat kebijakannya lebih banyak hanya tertuang di atas kertas atau diwacanakan melalui masmedia. Kebijakan publik mendorong munculnya strategi bagaimana mengelola sampah secara baik, diikuti dengan kebijakan anggaran yang mendukung, serta munculnya peraturan-peraturan yang sesuai. Peraturan tersebut perlu diikuti oleh adanya penegakan hukum yang terus menerus, disertai kebijakan memberikan insentif bagi mereka yang dianggap berhasil. Dengan demikian, masyarakat penghasil sampah diharapkan secara konsisten dan berkesinambungan akan bersedia melaksanakan prinsip-prinsip penanganan sampah secara baik.

Bagaimana sampah di kota Bandung dikelola selama ini? Secara garis besar, sampah yang berasal dari kelompok masyarakat yang mampu, melalui inisiatif RT-RW atau inisiatif individu, dikumpulkan oleh petugas, kemudian diangkut ke sebuah TPS. Sebagian dari TPS TPS tersebut dikelola oleh DLH kota Bandung, sebagian lagi terlihat tanpa pengelola (liar), mungkin karena yang disediakan oleh kota belum mencukupi atau mungkin karena jaraknya yang terlalu jauh untuk dijangkau oleh penghasil sampah. 

Di beberapa perumahan, DLH kota Bandung mengirimkan truk sampah ke perumahan tersebut, dan mengumpulkan sampah yang telah berada di gerobak sampah RT-RW setempat. Dalam hal ini gerobak-gerobak sampah tersebut berfungsi sebagai TPS. Bisa dipastikan bahwa lokasi dimana gerobak-gerobak tersebut parkir dan menunggu waktu pengambilan oleh truk kota (bisa seminggu sekali baru diangkut) kondisinya tidak bersih. Kemudian sampah terkumpul tersebut diangkut ke TPA di Sarimukti, yang dikelola oleh Propinsi Jawa Barat, sekitar 40 km dari kota Bandung. Sebagian dari masyarakat yang belum mendapatkan pelayanan atas inisiatip RT-RW, terpaksa membawa sampahnya ke luar rumahnya masing masing, mungkin ke TPS terdekat, atau ke tanah-tanah kosong, atau ke sungai. Tetapi mereka umumnya berusaha agar sampahnya tidak menumpuk di sekitar rumahnya. Masyarakat akan malu bila di sekitar rumahnya terlihat tidak bersih. 

Dalam hal sampah dikumpulkan oleh RT-RW, komunitas tersebut menyediakan sendiri sarana pengumpulnya, biasanya gerobak sampah, atau gerobak-motor sampah. Untuk mengumpulkan secara rutin, mereka membayar petugas sampah baik melalui iyuran bulanan, yang biasanya disatukan dengan jasa keamanan. Bila tidak melalui RT-RW, mereka bisa meminta jasa seseorang, atau jasa petugas sampah dari RT-RW tetangga untuk mengumpulkan sampahnya, dengan honor tertentu. 

Warga kota Bandung sebagian besar membayar 2 (dua) kali atas jasa pelayanan sampahnya. Pertama melalui RT-RW masing-masing. Besarnya bervariasi sesuai kesepakatan setempat, sehingga kualitas pelayanannya akan tergantung dari kemampuan bayar dan kontrol dari masing-masing komunitas. Yang kedua, warga Bandung membayar kepada Pemerintah Kota, yang ditarik melalui jasa RT-RW setempat. Sehingga dapat dikatakan bahwa urusan kebersihan di lingkungan masing-masing adalah urusan warga, terserah bagaimana cara dan inisiatipnya, termasuk dibawa ke titik-titik pengumpulan liar. Sementara kota Bandung hanya bertanggung jawab membawa sampah dari TPS ke TPA. 

Sampah yang terkumpul di TPS biasanya tidak langsung diangkut ke TPA karena menunggu diambil oleh truk pengangkut. Ketersediaan armada truk dan jarak angkut ke TPA yang cukup jauh merupakan faktor utama lambatnya pengangkutan sampah dari TPS-TPS tersebut. Titik titik lokasi TPS inilah yang sebetulnya rawan menjadi tempat akumulasi sampah, sehingga terlihat jorok, dan menimbulkan kesan bahwa masyarakat kota Bandung tidak tertib membuang sampahnya. Ditambah lagi dengan adanya TPS-TPS liar seperti disebutkan di atas. 

Seperti halnya kota-kota lain di Indonesia, kota Bandung saat ini masih mengandalkan adanya TPA, yaitu TPA Sarimukti, yang sebetulnya sudah melebihi kapasitas tampungnya. Diperlukan kemauan bersama agar jumlah sampah yang akan diangkut ke TPA dapat berkurang, khususnya melalui pengelolaan sampah yang berbasiskan pada reduksi dan daur ulang oleh penghasil sampah misalnya melalui program bank sampah, khususnya untuk sampah yang bernilai jual. Pemilahan sampah menjadi kunci keberhasilan program ini. Sampah yang tidak terkelola, apalagi bercampur dengan sampah sisa makanan dan buah buahan, menimbulkan masalah bau dan mengundang lalat serta tikus ke tumpukan sampah tersebut. 

Sampah, bila tidak ditangani secara baik, bisa menimbulkan permasalahan/gangguan, seperti estetika, bau, tempat bersarangnya vektor penyakit, khususnya bila kita menghadapi sampah yang mudah membusuk. Sementara sampah yang tidak mudah membusuk, seperti plastik bila dibuang begitu saja secara langsung berpengaruh terhadap lingkungan, khususnya berpotensi sebagai mikro-plastik yang dapat mengganggu biota air, dan menimbulkan masalah estetika dan mengganggu jalannya air seperti drainase kota. Sampah jenis ini pada kenyataannya bercampur-baur dengan sampah yang mudah membusuk seperti sisa makanan, bangkai binatang, sehingga keseluruhannya menjadi permasalahan bagi kenyamanan dan kesehatan masyarakat. 

Pemisahan sampah sisa makanan dengan jenis sampah yang lain merupakan langkah utama yang harus dilakukan oleh kota Bandung dengan dukungan masyarakatnya. Program ini harus terus disosialisasi serta diupayakan oleh pemerintah kota Bandung. Sampah jenis ini disamping berasal dari dapur dari rumah-rumah penduduk, juga berasal dari pasar-pasar tradisional, restoran dan sejenisnya, yang jumlahnya bisa mencapai lebih dari 40% dari total berat sampah yang dihasilkan. Sampah jenis ini dapat dikelola secara mandiri oleh penghasil sampah, misalnya melalui pengomposan sederhana, atau melalui pembiakan larva lalat BSF (black soldier fly) atau maggot, yang dapat digunakan sebagai makanan bagi ternak dan ikan serta penggunaan lainnya. Pegiat maggot banyak dijumpai di Bandung Raya. Yang menjadi kendala, bagaimana mempertemukannya dengan penghasil sampah organik seperti disebutkan di atas. Diperlukan intervensi aktif pemerintah kota Bandung. 

Menurut DLH kota Badnug, saat ini jumlah sampah yang dihasilkan oleh kota Bandung adalah sekitar 1.600 ton/hari, dan 82% diantaranya berhasil diangkut ke TPA. Kota Bandung menargetkan bahwa 60% sampah di tingkat RW melalui pemilahan. Kota Bandung telah memperkenalkan Program Kang Pisman (kurangi-pisahkan-manfaatkan) serta Program Kawasan Bebas Sampah. Dari informasi, yang sudah terlibat adalah sebanyak 69 RW, 13 kelurahan, 8 kelurahan. Program ini telah berhasil mengurangi jumlah sampah yang diangkut ke TPA lebih dari 30%. Bila program tersebut dapat ditingkatkan secara berkesinambungan, sampah yang akan diangkut ke TPA akan berkurang secara signifikan, sehingga akan mengurangi biaya angkut ke TPA yang kabarnya di atas Rp 200.000/ton, dan mengurangi biaya penanganan sampah di TPA Sarimukti yang besarnya Rp 50.000/ton. Biaya penghematan ini mungkin dapat dijadikan sebagai insentif bagi penghasil sampah yang berhasil mengurangi sampah terangkut ke TPA. 

Bandung 6 Juni 2022 
Enri Damanhuri 
E-mail: enri.damanhuri@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MINUTES OF MEETING - ZOOM MEETING KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP BERSAMA PAGUYUBAN PEGIAT MAGGOT NUSANTARA

KAMIS 10 APRIL 2025   PROLOG Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, merupakan sebuah kesempatan yang baik d...