Oleh: Enri Damanhuri
Pengamat masalah sampah
Besarnya penduduk dan keragaman aktivitas di kota, khususnya di kota-kota besar di Indonesia
seperti Jakarta, Surabaya, Medan, dan Bandung, mengakibatkan munculnya persoalan dalam
pelayanan prasarana perkotaan, seperti masalah sampah. Salah satu indikatornya adalah
sampah berserakan. Tidak semua sampah yang dihasilkan setiap hari dari sebuah kota mampu
terkelola dengan baik. Secara kasat mata, kebersihan sebuah kota akan bisa dinilai bila kita
melintas di pasar tradisional, lokasi sekitar tempat penampungan sementara (TPS), dan tempat
tempat keramaian. Sebagian besar sampah yang berhasil dikumpulkan biasanya diangkut ke
Tempat Pemrosesan Akhir (TPA).
Pemerintah kota mempunyai tanggung jawab dalam mengelola sampah kota. Namun karena
beberapa alasan, dalam banyak kasus mereka belum mampu melaksanakan tugas tersebut,
khususnya untuk menjamin pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan dan
berkesinambungan. Dikombinasikan dengan urbanisasi yang cepat, serta pengembangan kota
yang belum terencana baik, maka diperlukan program aksi yang mendesak untuk memperbaik
persoalan tersebut. Pemda sampai saat ini masih berputar-putar dengan persoalan harian yang
selalu menjadi keluhan dan tantangan mereka, namun tampaknya belum secara serius
mempertimbangkan kemungkinan pengelolaan sampah yang berbasiskan pada reduksi dan
pemanfaatan sampah di sumber.
Kendala utama dalam pengelolaan sampah kota adalah belum adanya kebijakan publik yang
mendorong berlakunya pengelolaan sampah secara baik. Selama ini sifat kebijakannya lebih
banyak hanya tertuang di atas kertas atau diwacanakan melalui masmedia. Kebijakan publik
mendorong munculnya strategi bagaimana mengelola sampah secara baik, diikuti dengan
kebijakan anggaran yang mendukung, serta munculnya peraturan-peraturan yang sesuai.
Peraturan tersebut perlu diikuti oleh adanya penegakan hukum yang terus menerus, disertai
kebijakan memberikan insentif bagi mereka yang dianggap berhasil. Dengan demikian,
masyarakat penghasil sampah diharapkan secara konsisten dan berkesinambungan akan
bersedia melaksanakan prinsip-prinsip penanganan sampah secara baik.
Bagaimana sampah di kota Bandung dikelola selama ini? Secara garis besar, sampah yang
berasal dari kelompok masyarakat yang mampu, melalui inisiatif RT-RW atau inisiatif
individu, dikumpulkan oleh petugas, kemudian diangkut ke sebuah TPS. Sebagian dari TPS
TPS tersebut dikelola oleh DLH kota Bandung, sebagian lagi terlihat tanpa pengelola (liar),
mungkin karena yang disediakan oleh kota belum mencukupi atau mungkin karena jaraknya
yang terlalu jauh untuk dijangkau oleh penghasil sampah.
Di beberapa perumahan, DLH kota Bandung mengirimkan truk sampah ke perumahan
tersebut, dan mengumpulkan sampah yang telah berada di gerobak sampah RT-RW setempat.
Dalam hal ini gerobak-gerobak sampah tersebut berfungsi sebagai TPS. Bisa dipastikan
bahwa lokasi dimana gerobak-gerobak tersebut parkir dan menunggu waktu pengambilan
oleh truk kota (bisa seminggu sekali baru diangkut) kondisinya tidak bersih. Kemudian
sampah terkumpul tersebut diangkut ke TPA di Sarimukti, yang dikelola oleh Propinsi Jawa
Barat, sekitar 40 km dari kota Bandung. Sebagian dari masyarakat yang belum mendapatkan
pelayanan atas inisiatip RT-RW, terpaksa membawa sampahnya ke luar rumahnya masing
masing, mungkin ke TPS terdekat, atau ke tanah-tanah kosong, atau ke sungai. Tetapi mereka
umumnya berusaha agar sampahnya tidak menumpuk di sekitar rumahnya. Masyarakat akan
malu bila di sekitar rumahnya terlihat tidak bersih.
Dalam hal sampah dikumpulkan oleh RT-RW, komunitas tersebut menyediakan sendiri
sarana pengumpulnya, biasanya gerobak sampah, atau gerobak-motor sampah. Untuk
mengumpulkan secara rutin, mereka membayar petugas sampah baik melalui iyuran bulanan,
yang biasanya disatukan dengan jasa keamanan. Bila tidak melalui RT-RW, mereka bisa
meminta jasa seseorang, atau jasa petugas sampah dari RT-RW tetangga untuk
mengumpulkan sampahnya, dengan honor tertentu.
Warga kota Bandung sebagian besar membayar 2 (dua) kali atas jasa pelayanan sampahnya.
Pertama melalui RT-RW masing-masing. Besarnya bervariasi sesuai kesepakatan setempat,
sehingga kualitas pelayanannya akan tergantung dari kemampuan bayar dan kontrol dari
masing-masing komunitas. Yang kedua, warga Bandung membayar kepada Pemerintah
Kota, yang ditarik melalui jasa RT-RW setempat. Sehingga dapat dikatakan bahwa urusan
kebersihan di lingkungan masing-masing adalah urusan warga, terserah bagaimana cara dan
inisiatipnya, termasuk dibawa ke titik-titik pengumpulan liar. Sementara kota Bandung hanya
bertanggung jawab membawa sampah dari TPS ke TPA.
Sampah yang terkumpul di TPS biasanya tidak langsung diangkut ke TPA karena menunggu
diambil oleh truk pengangkut. Ketersediaan armada truk dan jarak angkut ke TPA yang cukup
jauh merupakan faktor utama lambatnya pengangkutan sampah dari TPS-TPS tersebut. Titik
titik lokasi TPS inilah yang sebetulnya rawan menjadi tempat akumulasi sampah, sehingga
terlihat jorok, dan menimbulkan kesan bahwa masyarakat kota Bandung tidak tertib membuang
sampahnya. Ditambah lagi dengan adanya TPS-TPS liar seperti disebutkan di atas.
Seperti halnya kota-kota lain di Indonesia, kota Bandung saat ini masih mengandalkan
adanya TPA, yaitu TPA Sarimukti, yang sebetulnya sudah melebihi kapasitas tampungnya.
Diperlukan kemauan bersama agar jumlah sampah yang akan diangkut ke TPA dapat
berkurang, khususnya melalui pengelolaan sampah yang berbasiskan pada reduksi dan daur
ulang oleh penghasil sampah misalnya melalui program bank sampah, khususnya untuk
sampah yang bernilai jual. Pemilahan sampah menjadi kunci keberhasilan program ini.
Sampah yang tidak terkelola, apalagi bercampur dengan sampah sisa makanan dan buah
buahan, menimbulkan masalah bau dan mengundang lalat serta tikus ke tumpukan sampah
tersebut.
Sampah, bila tidak ditangani secara baik, bisa menimbulkan permasalahan/gangguan, seperti
estetika, bau, tempat bersarangnya vektor penyakit, khususnya bila kita menghadapi sampah
yang mudah membusuk. Sementara sampah yang tidak mudah membusuk, seperti plastik
bila dibuang begitu saja secara langsung berpengaruh terhadap lingkungan, khususnya
berpotensi sebagai mikro-plastik yang dapat mengganggu biota air, dan menimbulkan
masalah estetika dan mengganggu jalannya air seperti drainase kota. Sampah jenis ini pada
kenyataannya bercampur-baur dengan sampah yang mudah membusuk seperti sisa makanan,
bangkai binatang, sehingga keseluruhannya menjadi permasalahan bagi kenyamanan dan
kesehatan masyarakat.
Pemisahan sampah sisa makanan dengan jenis sampah yang lain merupakan langkah utama
yang harus dilakukan oleh kota Bandung dengan dukungan masyarakatnya. Program ini harus
terus disosialisasi serta diupayakan oleh pemerintah kota Bandung. Sampah jenis ini
disamping berasal dari dapur dari rumah-rumah penduduk, juga berasal dari pasar-pasar
tradisional, restoran dan sejenisnya, yang jumlahnya bisa mencapai lebih dari 40% dari total
berat sampah yang dihasilkan. Sampah jenis ini dapat dikelola secara mandiri oleh penghasil
sampah, misalnya melalui pengomposan sederhana, atau melalui pembiakan larva lalat BSF
(black soldier fly) atau maggot, yang dapat digunakan sebagai makanan bagi ternak dan ikan
serta penggunaan lainnya. Pegiat maggot banyak dijumpai di Bandung Raya. Yang menjadi
kendala, bagaimana mempertemukannya dengan penghasil sampah organik seperti
disebutkan di atas. Diperlukan intervensi aktif pemerintah kota Bandung.
Menurut DLH kota Badnug, saat ini jumlah sampah yang dihasilkan oleh kota Bandung
adalah sekitar 1.600 ton/hari, dan 82% diantaranya berhasil diangkut ke TPA. Kota Bandung
menargetkan bahwa 60% sampah di tingkat RW melalui pemilahan. Kota Bandung telah
memperkenalkan Program Kang Pisman (kurangi-pisahkan-manfaatkan) serta Program
Kawasan Bebas Sampah. Dari informasi, yang sudah terlibat adalah sebanyak 69 RW, 13
kelurahan, 8 kelurahan. Program ini telah berhasil mengurangi jumlah sampah yang diangkut
ke TPA lebih dari 30%. Bila program tersebut dapat ditingkatkan secara berkesinambungan,
sampah yang akan diangkut ke TPA akan berkurang secara signifikan, sehingga akan
mengurangi biaya angkut ke TPA yang kabarnya di atas
Rp 200.000/ton, dan mengurangi biaya penanganan
sampah di TPA Sarimukti yang besarnya Rp 50.000/ton.
Biaya penghematan ini mungkin dapat dijadikan sebagai
insentif bagi penghasil sampah yang berhasil mengurangi
sampah terangkut ke TPA.
Bandung 6 Juni 2022
Enri Damanhuri
E-mail: enri.damanhuri@gmail.com

Tidak ada komentar:
Posting Komentar