Minggu, 23 Maret 2025

Press Release Peluncuran Kajian Menabur Benih Kerusakan: Kajian Proyek Strategis Nasional Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Indonesia

Permasalahan sampah menjadi salah satu persoalan lingkungan utama di Indonesia. Volume sampah mengalami peningkatan signifikan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2023, Indonesia menghasilkan sampah sebesar 70 juta ton. Besarnya jumlah sampah tersebut belum dibarengi dengan peningkatan sistem pengelolaan sampah. Akhirnya polusi sampah menyebabkan pencemaran lingkungan dan penumpukan di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). 

Pemerintah merespon masalah darurat sampah dengan mendorong pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di 12 Kota di Indonesia termasuk yang akan diterapkan di Jawa Barat. Proyek ini juga menjadi bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) pada program percepatan infrastruktur ketenagalistrikan. Proyek yang didorong sebagai PSN pada tahun 2015 ini terkesan dipaksakan karena menggunakan pendekatan dari atas ke bawah (top-dwon approach). 

WALHI bekerjasama dengan Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) dan Global Alliance Incinerator Alternative (GAIA) sejak awal tahun 2024 melakukan kajian pada proyek PLTSa di Indonesia. Kajian ini melihat proyek PLTSa dari beragam aspek mulai dari pendanaan, iklim, dan energi. Kajian ini melihat secara kritis proyek PLTSa mulai dari tahap perencanaan hingga implementasi. Kajian ini juga mengelaborasi peran lembaga keuangan internasional dalam mendorong proyek yang kami sebut sebagai proyek solusi palsu. Pada bagian lain, kajian ini menyajikan studi kasus berbagai proyek PLTSa di berbagai kota yang menunjukkan kegagalan dan kerusakan. Investasi pada proyek PLTSa dapat dianalogikan sebagai menabur benih kerusakan atau kehancuran. 

Paling tidak, ada dua alasan utama mengapa pemerintah patut melupakan rencana pembangunan PLTSa. Pertama tidak baik untuk lingkungan. Dan kedua tidak baik untuk kesehatan. Selain dua hal tersebut, ada lagi satu alasan mendasar mengapa proyek ini tidak berguna, yaitu mubadzir. 

Dalam konteks pencemaran lingkungan, proses pembakaran sampah akan meningkatkan produksi gas rumah kaca yang artinya turut mempercepat perubahan iklim. Menurut penghitungan Zero Waste Europe, setiap satu ton sampah yang dibakar akan menghasilkan 1,7 ton CO2. Dengan jumlah sampah harian DKI Jakarta yang mencapai 7.702 ton, jika diasumsikan semua sampah tersebut dibakar, dalam sehari PLTSa dapat menghasilkan 13.093 ton CO2 atau 4.779.091 ton CO2 pertahun.

Selain itu, dalam prakteknya, sistem pembakaran sampah seperti PLTSa akan menghasilkan dioksin, sebuah senyawa kimia beracun yang banyak dihasilkan dari pembakaran sampah plastik. Selain mencemari lingkungan secara langsung, dioksin juga mampu berpenetrasi dalam rantai makanan. 

Dalam hal kesehatan, dioksin turut mengancam kelangsungan hidup manusia. Paparan racun ini dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan berbagai permasalahan kesehatan. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), senyawa beracun ini dapat menyebabkan kanker, menyerang sistem imun, dan mempengaruhi sistem reproduksi. Sialnya, seperti sudah disinggung sebelumnya, selain bertebaran di udara, dioksin juga memiliki kemampuan masuk ke dalam rantai makanan. Dengan kata lain, risiko paparan racun ini untuk manusia dan hewan semakin tinggi. 

Tidak berhenti sampai disitu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2020 juga sempat merilis kajian terkait rencana pembangunan PLTSa. Dari hasil kajiannya, KPK menemukan bahwa proyek PLTSa tidaklah efektif dan membebani anggaran pemerintah daerah (Pemda) serta Perusahaan Listrik Negara (PLN). 

Ada dua aspek yang dinilai bermasalah oleh KPK, yakni model bisnis yang memberatkan dan basis teknologi yang belum memadai. Dalam hal model bisnis, PLTSa akan membebankan pemda dalam sejumlah tahapan seperti studi kelayakan, pengumpulan sampah, dan tipping fee atau biaya layanan pengolahan sampah (BLPS). 

Sialnya, dalam proyek PLTSa ini, kontrak yang dianut pemda dan investor adalah take or pay, yang artinya pemda harus membayar tipping fee sebanyak volume yang dijanjikan meskipun tonase sampah yang diolah tidak mencapai target pada perjanjian. Sialnya lagi, kontraknya berlaku selama 25 tahun. 

Kontrak yang sama juga berlaku untuk PLN. Perusahaan listrik negara ini harus membayar tarif sesuai dengan perjanjian meskipun listrik yang dihasilkan dari PLTSa kurang dari kapastitas yang dijanjikan. Dengan demikian, model bisnis yang digunakan PLTSa sangat berpotensi merugikan negara, berbanding terbalik dengan potensi kerugian investor yang mencapai nol persen. 

Nurul Ghifron, Wakil Ketua KPK, pada siaran pers KPK terkait kajian listrik tenaga sampah, 6 Maret 2020 mengatakan; “KPK mendukung program investasi, namun investasi yang membawa manfaat besar untuk negara dan masyarakat serta menghindari praktek yang tidak adil karena menguntungkan satu pihak saja (investor),” 

Di Jawa Barat khususnya kawasan Bandung Raya isu PLTSa bukanlah hal asing ditelinga warga kawasan Bandung dan sekitarnya. Setelah terjadinya kejadian longsor TPA Leuwigajah tahun 2005. yang kemudian membawa situasi kota bandung ditahadapkan pada situasi darurat sampah, dikarenakan sampah tidak bisa diangkut ke TPA yang terjadi longsor. Akibatnya pemandangan timbulan dan tumpukan sampah terjadi di berbagai sudut kota sehingga kawasan Kota Bandung menjadi lautan sampah atau “Bandung Lautan Sampah” sebagai julukannya. 

Dari kondisi itulah Pemerintah kota Bandung berencana membangun PLTSa sebagai solusi penangganan sampah pada waktu itu dan PT. BRILL ditunjuk sebagai investornya. Dan lahan atau lokasi yang akan digunakan pembangkit ini adalah salah satu kampung di Desa Citatah yang kemudian ditolak warga sekitar. Kemudian lokasinya berpindah ke Gedebage dan di lokasi inipun ditolak juga terutama oleh warga perumahan Cempaka Arum yang lokasinya berdekatan dengan calon lokasi penempatan PLTSa. 

Kini, rencana penanganan sampah dengan PLTSa ini menguat kembali setelah Gubernur Jawa Barat terpillih (Dedi Mulyadi) dalam narasi narasi kampanyenya pada saat menjelang pencoblosan pertengahan tahun 2024 lalu mewacanakan akan menjadikan PLTSa sebagai solusi dalam menanggulangi sampah Bandung Raya. 

Hal ini selaras dengan rencana pemerintah pusat dalam hal ini Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marves), Luhut Binsar Panjaitan pada saat berkunjung ke Sektor 9 Sungai Citarum, Batujajar, KBB, Sabtu 10 Agustus 2024 yang diberitakan oleh beberapa media online. Bahwa, beliau membeberkan rencana Proyek pembangunan Tempat Pengolahan dan Pemeprosesan Akhir Sampah (TPPAS) Legok Nangka di Nagreg Kabupaten Bandung akan dilaksanakan pada akhir Agustus 2024. Proyek pembangunan TPPAS yang diproyeksikan akan rampung pada tahun 2026 digadang-gadang mampu menampung hingga 2.131 ton perhari sampah dari wilayah Bandung Raya 

Sembari menunggu persyaratan rampung dipersiapkan, pemerintah pusat, mendorong pihak Pemerintah Kota Bandung untuk bisa menempatkan dan mengoperasionalkan 10-15 insinerator TPST yang telah dibangun Pemkot Bandung di beberapa titik dengan kapasitas pengelolaan mencapai 2000 ton perhari. 

Namun, sampai dengan saat ini tahapan pembangunan PLTSa dimaksud belum bisa dilakukan, dikarenakan masih terkendala persyaratan administrasi yang harus segera diselesaikan dan dipenuhi Pemerintah Provinsi sebagai pihak pengaju. Bahkan, proses peletakan batu pertama atau Groundbreaking yang rencananya akan dilakukan langsung Presiden Joko Widodo Agustus tahun lalu pun gagal dilakukan. 

WALHI Jawa Barat menduga, tahapan pembangunan belum bisa dilaksanakan karena pada waktu itu ada penolakan pihak KLHK, disebabkan kesalahan prosedur perizinan yang pada awalnya diperuntukan untuk TPPAS dengan metode sanitary landfill, namun di tengah jalan pemerintah mengajukan izin baru pengelolaan TPPAS dengan pendekatan teknologi (PLTSa). Karena dalam hal merubah konsep penanganan dari sanitary landfill ke PLTSa pemerintah harus merubah AMDAL dari awal atau baru. Kalau sekiranya masih menggunakan AMDAL awal justru pemerintah menyalahi prosedur perizinan dan bisa dijatuhkan sanksi hukum baik pada pemberi izin (KLHK) maupun pihak pengaju dalam hal ini pemerintah provinsi.

Selain itu, sampah Bandung Raya didominasi sampah organik atau sampah basah yang sifatnya low caloric value sebanyak 60 persen. Dengan menggunakan komposisi sampah tersebut, PLTSa membutuhkan banyak sampah yang harus dibakar untuk mencapai titik panas tertentu untuk menghasilkan energi. Lagi-lagi semakin banyak sampah yang dibakar, semakin banyak gas rumah kaca dan polutan yang dihasilkan. 

Untuk diketahui bersama, bahwa Kota Bandung memproduksi sampah paling banyak dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Bandung Raya. Sebagaimana data timbulan sampah sisa makanan yang dikeluarkan DLH Provinsi Jawa Barat tahun 2022, bahwa Cekungan Bandung atau Bandung Raya memproduksi sampah organik sekitar 2.327 ton per hari. Sementara Kota Bandung mencapai 60 persen atau sekitar 1.389 ton perhari. Jumlah timbulan ini berasal dari Kawasan Komersial, seperti pasar, hotel, restoran, kafe, rumah sakit, mall, dll yang mencapai, 874 ton sisanya sekitar 515 ton berasal dari sampah dari rumah tangga. 

Sementara itu, data SIPSN tahun 2023 Kota Bandung adalah penghasil sampah terbanyak di wilayah Bandung Raya yang melingkupi 5 kota/kabupaten. Timbulan sampah Kota Bandung per 2023 adalah 1.766 ton/hari, meningkat 10,8% dari tahun 2022. Hal ini mengindikasikan adanya perubahan demografis yang signifikan di lingkungan Kota Bandung seperti jumlah penduduk dan tingkat sosio ekonomi sehingga timbulan sampah melonjak. Secara komposisi, Kota Bandung serupa dengan mayoritas wilayah di Indonesia dengan sisa makanan menjadi komponen terbesar di angka 44,5%. Plastik dan kertas menjadi komponen terbesar setelahnya di angka 16,7% dan 13,1%. Berdasarkan uraian 3 besar ini, tanpa harus mengandalkan PLTSa, lebih dari 60% sampah di Kota Bandung dapat dikelola melalui sistem pengomposan dan daur ulang sesuai kategorinya 

Dengan pelbagai pertimbangan di atas, melanjutkan proyek PLTSa bukanlah langkah bijak yang bisa ditempuh pemerintah dalam mengentaskan persoalan sampah dan energi bersih terbarukan. Daripada memaksakan teknologi yang belum rampung tersebut, pemerintah lebih baik fokus pada upaya pengaturan sampah dari sumbernya, yaitu masyarakat dan industri plastik. 

Fokus pada masyarakat berarti memberi pendampingan, edukasi, dan monitoring pengolahan sampah pada masyarakat. Sementara di bidang industri, pemerintah perlu mengatur produksi plastik dalam bentuk regulasi. Meskipun sudah ada peraturan gubernur yang mengatur penggunaan kantong belanja ramah lingkungan, akan percuma jika produksi plastik tidak di kontrol. Selain itu, klaim ramah lingkungan yang digaungkan PLTSa tidaklah tepat. Konsep ramah lingkungan harus diterapkan dalam segala aspek, mulai pengumpulan bahan produksi sampai penggunaan oleh konsumen. Dengan kata lain, energi ramah lingkungan tidaklah sesederhana mengubah sampah menjadi listrik. Alih-alih ramah lingkungan, PLTSa hanya mengkonversi masalah, dalam hal ini mengatasi permasalahan sampah dengan menghadirkan pencemaran udara¹.

file bisa download di.....https://drive.google.com/file/d/1FbbsklXNQ1pmnSz52O5bhVSjy2aKHqPF/view?usp=sharing


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MINUTES OF MEETING - ZOOM MEETING KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP BERSAMA PAGUYUBAN PEGIAT MAGGOT NUSANTARA

KAMIS 10 APRIL 2025   PROLOG Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, merupakan sebuah kesempatan yang baik d...